Chapter 1 : Aiden

5 0 0
                                    

"What! Omiai*? Seriusan? Aiden, kau tidak bercanda?"

(tl: pertemuan perjodohan)

"Okaasan dan Otousan tadi meneleponku dan menyuruhku pulang ke Jepang besok."

"Siapa pasanganmu?"

Aiden terdiam.

"Kenapa kau diam? Memangnya tidak diberi tahu? Tapi yang terpenting, mereka tidak memberitahuku!"

Sepasang pria dan wanita tengah bercengkerama di sebuah kamar apartemen. Si wanita berbicara dengan nada tinggi dan raut wajah ingin menerkam orang. Sementara si pria hanya menatap wanita di hadapannya itu dengan senyuman.

"Nee san tak perlu khawatir. Siapapun pasanganku nanti, entah Omega maupun Alpha, pasti Otousan dan Okaasan sudah memikirkan yang terbaik."

"My dear, Kakak tidak akan setuju kalau kau menikah seperti ini. Kakak akan menelepon okaasan. Enak saja, my baby boy mau dikawinkan tanpa izinku!"

Si pria hanya tersenyum. Betapa sang kakak telah merawatnya dengan susah payah. Dan tetap melindunginya, seorang Alpha yang 'gagal'. Kesedihan nampak terpancar dari matanya. Si wanita berdiri dan segera masuk kamar. Tak lama suara kesalnya kembali terdengar.

"Okaasan, kiita yo! Kenapa tiba-tiba Aiden dijodohkan? Aku tidak terima!"

"Megumi sayang, Okaasan tahu kau sangat menyayangi adikmu. Tapi tidak mungkin kau akan bersamanya terus. Sudah waktunya Aiden mencari pasangan."

"Aku sanggup menjaganya. Seumur hidup bila perlu! Okaasan, kau tahu bagaimana kondisi Aiden. Aku tidak mau ia menderita. Lagipula, setelah tahu kondisi Aiden, memangnya calonnya itu tidak akan mengoloknya? Tidak! Aku tidak terima!"

"Megumi, calon pasangan Aiden adalah anak yang baik. Otousan dan okaasan mengenal orangtuanya. Mereka juga sudah tahu kondisi Aiden."

Mendengar kata-kata orang tuanya Megumi semakin geram.

"Mereka sudah tahu dan masih mau? Apa yang mereka inginkan dari pernikahan ini? Dan lagi meski orang tuanya baik pun belum tentu anaknya juga."

"Megumi sayang, tenanglah dulu .... "

"Aku tidak bisa tenang jika menyangkut Aiden. Dia omega atau alpha?"

" ... Dia beta, dan pria."

"Apa! Beta dan seorang pria? Okaasan, daijoubu? Aku tahu tidak mudah mencari seorang omega jaman sekarang. Semua omega seusia Aiden dalam lingkungan kita pun sudah memiliki pasangan. Tapi, beta? terlebih lagi seorang pria?" Amarah Megumi memuncak.

"Tapi sayang .... "

"Tidak, aku tidak akan mengijinkan Aiden pulang ke Jepang! Okaasan batalkan omiai itu!"

Megumi memutuskan sambungan teleponnya. Dia terduduk di pinggir kasur. Diraihnya sebuah bingkai perak di atas nakas. Sebuah foto dua orang bocah terpasang disana. Seorang bocah laki -laki  sedang membangun istana pasir di pantai tengah tersenyum lebar. Sedangkan yang satu lagi adalah seorang bocah perempuan memegang sebuah kerang besar yang ditunjukkannya pada bocah laki- laki. Megumi mengelus foto itu dengan sayang.

Adikku sudah besar. Sudah menjadi sangat tampan. Tapi kenapa dia harus menderita?

Tiba-tiba terdengar ketukan kecil di pintu kamar. Megumi tersadar dari lamunannya. Buru - buru ia mengembalikan foto ke atas nakas dan mengusap kasar air mata yang sempat menetes. Tidak ingin menunjukkan wajah lemah di depan adik semata wayangnya.

"Nee san? Aku boleh masuk?"

"Masuklah, tidak dikunci."

Pintu kamar terbuka pelan. Sosok Aiden berjalan masuk ke dalam kamar. Megumi memandang adiknya dengan cermat. Pemuda dengan tubuh tinggi berambut pendek. Warna rambutnya yang hitam nampak kontras dengan kulit putih khas Negeri Matahari Terbit. Tatapan mata yang teduh dan senyum tulus mengembang menghiasi wajahnya yang rupawan bagai karya agung dewa.

"Aiden, kau sudah tahu bahwa calon pasanganmu .... "

Megumi menghentikan pertanyaaannya saat melihat Aiden tersenyum. Tatapan Megumi nanar.

"Kenapa? Kau harusnya menolak!"

Aiden duduk berjongkok menghadap sang kakak. Ditatapnya wajah kakak perempuan satu-satunya itu. Sambil menggenggam erat tangan Megumi, Aiden berkata dengan pelan demi membujuk Megumi.

"Nee san, aku tau kau memikirkan kebaikanku. Tapi sudah saatnya aku memiliki kehidupanku sendiri. Aku tidak ingin terus membebanimu."

"Tidak! Kau bukan beban. Kau adalah adik laki-laki kesayanganku."

Aiden tersenyum.

"Aku tahu. Nee san, apa kau tak ingin melihatku terbang dengan kedua sayapku? Memang tidak mudah. Bisa juga aku terluka dalam prosesnya. Entah karena badai ataupun sayapku patah. Tapi Nee san, paling tidak aku sudah mencoba."

"Aku adalah Alpha yang gagal. Alpha yang tidak dapat memberikan kebahagian pada pasangannya. Ada yang mau menerimaku pun aku sudah bahagia."

Megumi mendengarkan Aiden dengan seksama. Adik kecilnya yang dulu selalu mengejar di belakang kini sudah beranjak dewasa. Tapi melihat adiknya yang seperti itu semakin memberatkan hatinya.

"Apa kau benar - benar sudah yakin?" tanya Megumi.

"... Terima kasih sudah menjagaku selama ini."

Megumi memeluk Aiden erat. Tangisnya pecah. Sebenarnya ia tak ingin melepas Aiden. Namun mendengar perkataan adiknya, mau tak mau Megumi harus rela.

Malam itu, Megumi tertidur karena kelelahan menangis. Setelah menyelimuti sang kakak, Aiden pergi ke kamar tidurnya. Ia berbaring menatap langit - langit kamar sebelum akhirnya terpejam.

Aiden.

Sayup-sayup suara seseorang memanggil namanya. bola mata Aiden bergerak - gerak. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Namun bukan pemandangan kamar tidur yang didapatinya. Melainkan pasir yang membentang sejauh mata memandang. Entah mengapa ia tak merasa asing dengan tempat itu. Di kejauhan ia mendengar deburan ombak saling bersahutan. Ia melangkahkan kakinya menuju asal suara seolah ada sesuatu yang menariknya. Begitu sampai, tampak seorang pemuda berambut panjang dan bertelanjang kaki berdiri di tepi pantai. Pakaiannya yang serba putih sedikit kotor karena pasir. Ujung celananya basah oleh terpaan ombak yang datang. Tapi ia tak tampak terganggu.

Aiden berjalan pelan mendekati sosok itu. Seolah takut akan mengganggunya. Namun sosok itu tiba-tiba menoleh.

"Kau sudah datang?"

Aiden terdiam. Ia ingin berkata-kata namun mulutnya tak bisa terbuka sekeras apapun usahanya. Ia hanya bisa terdiam. Tubuhnya seperti bukan miliknya.

"Kau lama sekali. Ayo cepat! Kalau tidak, kita akan dimarahi Master!"

Pemuda itu meraih tangan Aiden dan menariknya untuk berlari. Namun, perlahan sosok pemuda itu semakin samar. Semakin lama semakin menghilang.

"Lian!"

Aiden membuka mata sambil meneriakkan nama seseorang. Ujung matanya sedikit basah. Aiden bangkit dan terduduk di pinggir tempat tidur. Ia dan menatap sekeliling dan kali ini pemandangan kamar tidur yang didapatinya. Perasaan aneh merasuki hatinya. Ia yakin baru pertama kali bertemu pemuda dalam mimpinya itu. Tapi ada sesuatu yang membuatnya familiar. Dan tiba-tiba dadanya sesak seolah menahan sakit kehilangan.

"Ju ... lian? Dia siapa?"

You are my EdenWhere stories live. Discover now