Berdialog

36 2 0
                                    

Sudah 3 hari ini harus ku akui, Bandung sedang panas-panasnya. Mentari yang terik dan udara yang cukup pengap menyambut siapa saja yang hendak keluar. Hari itu, pukul 3 sore aku akan bertemu dengan seseorang yang berhasil membuat hari-hari ku tidak lagi kelabu. Sekadar melepas penat, bersua ria, dan mungkin... melepas rindu?

Kedai kopi sederhana di pertigaan antara Jalan Lengkong Kecil dengan Jalan Karapitan menjadi tempat kami akan bertemu.

Diiringi riuhnya jalanan, dihiasi kawat berbungkus karet yang tampak kusut, dan beberapa bangunan menjulang tinggi di sekitar kedai kopi. Kami memesan dua jenis minuman kopi yang berbeda. Aku dengan segelas Caramel Latte, sedang dia dengan segelas Es Kopi Susu yang menjadi menu andalan kedai kopi tersebut.

Entah memang sudah menjadi 'rumus perbincangan' acap kali kami bertemu, atau memang beberapa orang di luar sana pun melakukan hal yang sama. Topik perbincangan pertama kami selalu dimulai dengan hal-hal yang tidak penting--setidaknya menurut ku. Selanjutnya, kami mulai berbincang sesuatu yang dibumbui beberapa teori. Sejarah Indonesia maupun dunia, politik, partitur nada yang tidak ku mengerti--namun hari ini, aku sedikit memahaminya, dan hal lain yang cukup memutar otak. Padahal saat itu, aku ingin berkeluh kesah mengenai masalah yang berhasil membuat ku hidup tanpa gravitasi. Tapi, mengapa kami seolah teringat ketika hendak pulang?

Akibat 'rumus perbincangan' kami yang pasti berulang seperti itu, berbincang yang sebenarnya pun selalu kami lanjutkan dalam perjalanan pulang. Berboncengan ditemani hembusan angin malam, dengan kedua lengan ku yang memeluknya erat dari belakang.

Tapi tak apa. Aku pikir 'rumus perbicangan' kami adalah hal yang biasa mengalir begitu saja. Aku tidak pernah sampai hati untuk merusak suasana dan keadaan ketika seseorang hendak bercerita.

BerdialogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang