Dengusan itu keluar lagi dari gadis berkulit pucat yang duduk begitu manis di tengah-tengah meja makan dalam kafe bernuansa promnight. Makan malam yang mestinya hangat justru terasa membeku untuknya. Tak ada kata yang bisa ia luncurkan setelah pernyataan tak terbantahkan itu keluar dari mulut ayahnya. Sesial itu hidup yang mesti ia tanggung.
"Kalian bisa jalan-jalan kalau sudah selesai dengan makan malamnya. Kami masih ingin berbincang," seru wanita berambut dark blonde itu.
Tatapan gadis itu beralih pada pria yang duduk di seberangnya. Pria itu tampak mengangkat pantatnya untuk bangkit. Tak lama ia rasakan cubitan kecil di lengannya.
"Ibu?!"
"Ikut sana!" tukas wanita berambut brunette itu padanya.
Gadis itu mencebik kemudian ikut beranjak. Terpaksa ia harus berjalan bersama pria itu mengelilingi taman kafe ini. Pandangan ia jauhkan sembari memainkan jemarinya. Merasa tak ada hal yang perlu dibicarakan, ia pun memilih membisu.
"Mengapa kau setuju?"
Ucapan pria itu membuatnya menoleh. Kedua mata abunya menangkap keindahan ciptaan Tuhan dari presisi yang begitu pas. Sangat tampan. Rambut blondenya, mata hijaunya yang tajam, alisnya, potongan rahangnya, hidung mancungnya, bibir seksinya, ahh sempurna!
"Hey?! Are you with me?"
Gadis itu mengerjap. "Aku tidak pernah bisa membantah Ayahku."
Pria itu mengangguk lalu kembali berjalan.
"Well, yeah! Mereka memang sahabat dekat. Mereka juga sama-sama berkepala batu. Tapi apa tak ada usaha yang kau lakukan untuk menentang perjodohan ini?"
Gadis itu menghentikan langkahnya dan menatap netra hijau pria itu. Ia embuskan napas panjang. "Sudah dan aku hampir diusir dari rumah," ucapnya.
Pria itu mendecak sebal.
Gadis itu terdiam di kamarnya. Pernyataan ayahnya dan juga Tuan Wyne Rexford masih terngiang di kepalanya. Hujan gerimis ini tak sanggup menjadi melodi untuk meluruhkan air matanya. Gadis itu tak sudi menangisi hal-hal yang tak ayal diubahnya.
Manik mata abu-abu itu melirik ponselnya yang entah berapa kali menyala. Nama sang kekasih terus tertera disana. Ia hela napas berat dan meraihnya.
"Ya?"
"Princess. Kenapa kau tidak mengangkat teleponku dari tadi?" Suara di seberang terdengar khawatir dan kesal.
"Sudah kubilang aku ada acara makan malam dengan Ayah dan temannya."
"Sampai jam segini? Princess. Aku meneleponmu mulai pukul sembilan, bukan pukul tujuh," tandasnya lagi.
Gadis bernama Lizzy Axton itu mengeratkan rahangnya. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Keputusan sudah diambil. Lizzy tak punya daya untuk memberontak.
"Glen, we break."
"What?! Haha, you must be kidding me, princess. Why?!"
Lizzy menundukkan kepalanya. "Aku dijodohkan."
"Princess. But we-"
Tlut!
Sambungan Lizzy putus. Ia letakkan ponselnya di atas nakas setelah mematikannya. Lizzy berjalan dengan bertelanjang kaki menuju jendela kamarnya. Sedikit ia singkap gorden berwarna mint itu untuk melihat gerimis yang menjadi hujan.
Lizzy memejamkan matanya. Ia nikmati gemuruh yang bersusulan menjamah indra pendengarannya. Malam ini adalah akhir atau mungkin awal untuknya. Gadis itu harus menikah dengan pria yang tak pernah ia kenal. Lizzy tersenyum miring menertawakan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruby Lips
Romance21+ mature content. Please be wise! Luka itu menutup segalanya hingga menjadi berantakan. Mampukah kepercayaan saling mengikat di saat ingatan menghilang? Mereka tertatih di atas ribuan jarum untuk mengais harapan kembali berpegangan tangan. Menangi...