Lizzy sampai di kampusnya. Ia segera melangkah menuju ruang dosen dimana Mr. Duke memiliki meja disana. Ia ucapkan salam lalu masuk. Wajah bingung pria lansia itu terlukis saat menatap Lizzy.
"Lizzy? Come in!"
Lizzy mengambil duduk dan menyerahkan lembaran kertas yang dibawanya. Pria lansia itu terus menatap Lizzy. Gadis itu pun bertanya, "Apa ada yang salah dengan saya, Sir?"
"Bukannya kamu baru menikah kemarin?"
Lizzy mengangguk.
"Tidak izin? Atau.. bukannya kalian butuh honeymoon, quality time maybe?"
Lizzy mengerjap beberapa kali. "Suami saya mesti mengurus pekerjaannya, Sir."
"Tapi.. Tapi-"
"Saya sudah menunggu Anda satu bulan untuk konsultasi, Sir. Saya mohon," tukas Lizzy dengan menyatukan tangannya.
Setelah selesai berkonsultasi dengan Mr. Duke, Lizzy pun berjalan menuju kantin. Ia amati beberapa hasil kerjanya yang mesti diganti. Tinggal sedikit lagi dan dia akan lulus. Lizzy sudah bilang pada ayahnya untuk mengambil salah satu restoran ayahnya sebagai tempatnya bekerja nanti.
"Thankyou," ucap Lizzy pada pramusaji kantin kampusnya.
Di tengah tenangnya ia membaca, suara gedebuk kaki sampai di telinganya.
"Lizzy?! Benar ini kau?!"
Lizzy menghela napas dan meletakkan tumpukan kertasnya. "Memang kau pikir siapa?" ucapnya sembari menyeruput jus alpukatnya.
Gadis berambut merah itu mengambil duduk di depannya. "Kau tidak bulan madu?"
Lizzy mencebik. "Aku sudah menceritakan semuanya padamu."
Gadis itu mengangguk. Ia melambai tangan untuk memesan sesuatu, kemudian kembali fokus pada sahabatnya. Wajah Lizzy terlihat seperti biasa, datar, tegas, berwibawa. Tak salah ia selalu ditunjuk menjadi orang penting di setiap kegiatan.
"Apa kalian sudah melakukannya?"
"Melakukan apa?"
Gadis bernama Fletta itu sedikit memajukan badannya lalu berbisik, "Having sex."
Lizzy melebarkan matanya kemudian mengalihkan tatapannya jauh-jauh. Fletta mengerut kening. Matanya menyipit memperhatikan raut wajah sahabatnya. Ia pun tertawa sinis.
"Well, yeah! Aku bisa menebaknya dari raut wajahmu."
Lizzy segera menatap mata biru sahabatnya.
"Kau menolaknya, kan?"
Tepat sasaran! Fletta tak pernah salah menilai raut wajah dan perasaan Lizzy. Gadis berambut cokelat terang itu tersenyum mencibir diri sendiri.
"Kau istri, Lizzy! Apapun alasanmu menolaknya itu salah. Ya.. aku paham perasaanmu. Tak ada rasa cinta jadi kau tak sudi dia menyentuhmu."
Dan, kata-kata menghunjam hati juga selalu Fletta ungkapkan untuk mengkritisi Lizzy. Gadis berambut merah itu tak ingin menyembunyikan apapun pada sahabatnya, agar Lizzy mau untuk berpikir lebih jernih lagi. Ia mengerti dan sangat paham bagaimana perasaan Lizzy meski ia tak pernah berada di posisinya. Fletta juga paham bagaimana sifat Lizzy yang begitu angkuh dengan idealismenya.
"Minta maaflah! Semua pria tersinggung ditolak apalagi urusan ranjang. Kau istrinya. Dia merasa punya hak atas dirimu."
"Kau tidak tahu, Fletta. Ak-"
"Aku tahu, Lizzy. Kau hanya terlalu sombong dan terlalu menghargai dirimu sendiri."
Lizzy terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruby Lips
Romance21+ mature content. Please be wise! Luka itu menutup segalanya hingga menjadi berantakan. Mampukah kepercayaan saling mengikat di saat ingatan menghilang? Mereka tertatih di atas ribuan jarum untuk mengais harapan kembali berpegangan tangan. Menangi...