📖 Selamat membaca! 📖
Tap bintang di sudut kiri bawah, ya!Hiruk pikuk jalanan kota menyambut mata. Udara malam yang menggelitik membuat gadis itu semakin menutup rapat tubuh dengan jaketnya. Memakai tudung jaket, lalu berjalan menerobos rintikan gerimis. Sejenak matanya menatap langit malam dengan rembulan yang sudah menggantung apik sesuai tempatnya.
Terkadang, semesta tidak bisa dibaca. Bagai awal yang memberi kesan semanis madu, namun menyisakan akhir naif menjelma menjadi rasa yang saling beradu. Semesta, terkadang ingkar pada janjinya dengan memberikan plot twist yang tak terduga.
Menggenggam erat tali tas gendongnya, ia berjalan hingga persimpangan jalan, mencari kendaraan umum untuk pulang.
"Kiri, Bang!"
Memasuki gang sempit sekitar jajaran rumah toko pinggir jalan, kakinya dengan lincah menghindari genangan.
Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Beberapa lampu rumah telah dipadamkan. Orang-orang memilih mengistirahatkan tubuh mereka setelah seharian berkegiatan.
Gadis itu memasuki rumahnya dengan pelan. Berusaha menutup pintu tanpa suara. Namun, sepelan apapun yang sudah ia lakukan, suara dencitan tidak bisa terelakkan.
"Nabastala?"
Nabastala menghampiri wanita yang kini berusaha mencari jalan dengan tongkat yang ia pegang. Jemarinya meraba udara, takut-takut sesuatu yang tidak bisa ia lihat ada di depan tubuhnya.
"Kamu baru pulang?"
Nabastala mendudukan ibunya ke kursi, melepaskan tas yang ia gendong sedari tadi lalu menyenderkan badan pada sandaran, satu kata yang mendeskripsikan dirinya kali ini. Lelah. Menutup mata berusaha mengurangi penat pada raganya.
"Nabastala? Dari mana saja? Kenapa baru pulang?"
"Barusan nugas, Bu." Nabastala membenarkan posisi duduknya. "Ibu tahu? Hari ini nggak tahu kenapa Pak Herman ngasih tugas buanyak banget."
"Suruh kerjain halaman inilah, tugas online dari sinilah, sampai-sampai tugas kelompok yang barusan selesai."
"Selarut ini?"
"Ehem." Gadis itu menjawab disertai anggukan.
"Kenapa nggak pamitan ibu dulu?"
"Maafin Nabastala udah buat ibu khawatir ya? Tadi Nabastala buru-buru."
"Mentang-mentang ibumu ini buta--"
"Apa sih, Bu, ngomongnya."
Menghela napas, wanita itu menaikkan tangan kanan. Seolah mengerti, Nabastala menyambut tangan ibunya lalu meletakkan di samping pipi, merasakan usapan lembut hingga ia memejamkan mata.
"Jangan terlalu keras belajarnya. Jangan terlalu capek, kalau bukan tempat kamu di situ, nggak apa-apa jangan dipaksa."
Nabastala mengangguk, memberi senyum tipis meski tahu kedua netra di depannya tidak bisa melihat meski hanya setitik cahaya. Kembali menikmati usapan itu dengan menutup mata, lalu pendarnya ia edarkan ke seluruh penjuru mencari afeksi yang sedari tadi tidak tertangkap retina.
"Ibu dari tadi sendirian?"
“Kakakmu kayaknya sibuk.”
KAMU SEDANG MEMBACA
NABASTALA
Teen FictionREMAKE CERITA SYEINA YANG SAYA PUBLISH BEBERAPA BULAN LALU SYEINA => NABASTALA ❎PLAGIAT DILARANG MENDEKAT!❎ Mohon maaf bila ada kesamaan nama tokoh, latar, cover, maupun hal-hal yang berhubungan dengan cerita. Itu merupakan suatu ketidak sengajaan...