Nabastala || 2

48 8 0
                                    

Halo!
Selamat membaca, ya 📖

*****

Ia memandang lurus ke depan. Setiap sudut kota terekam nyata dengan matanya. Silaunya sinar mentari tak membuat ia menyipit, menghirup udara sedalam mungkin, kini kedua mata itu memejam damai namun lain dengan otaknya yang bising dengan gaduh pikiran yang semakin merunyam.

Dalam pejamnya ia menerawang. Kejadian demi kejadian berputar kembali dalam ingatan. Manis, asam, pahit-- oh tidak. Sesungguhnya ia belum benar-benar tahu pahitnya sebuah hidup. Ya, usianya bagai daun muda yang belum begitu paham kerasnya perjuangan. Bagai kepompong yang belum siap mengepakkan sayap. Masih terlalu belia untuk mencapai masa dewasa. Siapa tahu saja, sepuluh ... dua puluh tahun kemudian, dunia semakin kejam terhadapnya, bukan?

Dunia tidak pandang bulu saat memberi ujian.

Perihal ujian, dua minggu lagi Nabastala akan menghadapi ujian kenaikan. Ya, seharusnya begitu. Namun rasanya dia tidak yakin akan mengikuti tes tersebut.

"Ini sudah bulan ke tiga, Nabastala. Kapan kamu bayar tunggakannya?"

Nabastala hanya mampu diam kala staf tata usaha bertanya demikian. Ia memandang meja di depannya dengan tangan bertaut di pangkuan.

"Dua Minggu lagi ujian, jangan salahkan saya kalau kamu tidak dibukakan pintu masuk tepat waktu."

"Tapi, Bu, saya--"

"Silakan keluar, jam istirahat akan habis sebentar lagi."

Nabastala menghela napas, beranjak dari sana, lalu berjalan kembali ke kelasnya.

"La, jangan lupa dateng, ya!"

Di tengah perjalanan, ia dicegat oleh salah satu teman beda kelasnya. Memberikan secarik undangan pesta ulang tahun, khas sekali dengan ciri perempuan masa kini.

"Oh?"

"Besok, loh, jam 7. Scan barcode kalo lo nggak tau tempatnya. Sweet seven teen gue nih, wajib dateng pokoknya!" ucapnya sebelum beranjak meninggalkan Nabastala. Pesta ulang tahun, ya?

Identik dengan keramaian, dekorasi dan juga ... kado. Itu artinya ia harus membelikan Aruma --si pemilik pesta sebuah kado untuk ikut meramaikan pesta gadis itu.

Hah, untuk membayar SPP sebelum ujian saja rasanya sudah mumet kenapa sekarang bertambah lagi?

Nabastala memandang kembali undangan di tangan kanannya.

Haruskah ia datang ke pesta besok malam?

***

Hamparan air tersapu angin hingga membuat ombak bergelombang, tergiring ke tepian, lalu pecah terbentur pepasiran. Matanya memejam, menghirup udara senja yang membuatnya tenang. Kedua tangan yang ia luruskan di samping badan, dengan rambut yang ia biarkan terurai menjadi mainan angin segar.

Ya, setidaknya ia dapat membayangkan bagaimana dinginnya air laut, damainya suara ombak, segarnya semilir angin di tengah padatnya jalanan kota sore hari yang biasa ia lalui.

"Lulus SMA mau kerja di mana?"

Nabastala seketika mendongak. Tepat di depannya seorang menyodorkan satu botol air minum dingin. Meraih, membuka hingga si botol mengeluarkan desisan soda, lalu meneguknya sekali.

"Masih ada niat mau kuliah?"

"Universitas luar negeri bisa nggak sih?"

"Nada lo kenapa pesimis gitu?"

"Aku pesimis? Aku? Pesimis?"

Terdengar kekehan dari orang di sebelah Nabastala. "Iya deh, engga."

"Tapi serius lo mau lanjut kuliah?" imbuhnya menatap Nabastala.

"Kalo bisa kenapa nggak?"

"Emang lo bisa?"

"Harus bisa," jawab Nabastala mantap. Sekolah hingga setinggi langit adalah impiannya sedari kecil. "Carilah ilmu sampai ke negeri China" Pepatah bijak itu selalu menjadi acuan motivasinya.

"Tapi, La--"

"Terlepas dari keadaan ekonomi kita, masih ada jalur beasiswa pemerintah di jaman sekarang."

"Beasiswa aja belum bisa nutup biaya hidup lo, La."

"Kak ...," Nabastala menatap, "jangan remehin Nabastala kali ini. Aku masih punya kaki tangan yang sehat buat kerja, punya otak yang masih bisa buat mikir, Kakak nggak usah khawatir."

"La--"

"Kak Nea, kenapa selalu anggap aku remeh sih?"

Nea menatap adiknya dengan seksama, mengunci tatapan itu sejenak sebelum mengalihkan ke arah senja di depannya.

"Ngeremehin? Gue nggak pernah bisa remehin lo, La. Gue selalu ada di pihak lo," Kedua mata anak pertama itu memejam, "gue cuman nggak mau lo terlalu ambis sampai lupa bahwa kadang nggak selamanya yang lo pingin, bisa lo genggam."

***

Malam semakin larut, rembulan semakin bersinar oleh bias mentari. Jam-jam sekarang memang waktu yang pantas untuk mengistirahatkan diri. Bergelung dengan selimut apalagi ketika hujan mengguyur seperti ini.

Entahlah, mungkin itu tidak berlaku untuk Nabastala. Menyalakan lampu, menarik kursi, membuka buku. Selalu ia lakukan setiap waktu. Tak peduli lelah raganya ingin diistirahatkan, gaduh pikirnya ingin ditenangkan, namun ia selalu melakukan hal yang sama.

Menurutnya, ia akan menjadi lebih tenang jika semakin mematangkan progres untuk masa depan.

"Dari masa ke masa, bumi beresolusi dengan alam semakin kuat namun akan musnah dengan cepat."

Kalimat yang sudah tiga kali Nabastala gumamkan, mencoba mencari makna di baliknya.

"Gimana? Bumi semakin tua, alam semakin kuat tapi kenapa cepat musnah?"

Jadi, ada yang tahu apa makna di sebaliknya ....

*****

Ada sesuatu yang ingin disampaikan?

Untuk dirimu

Untukku

Atau

Untuk orang di sekitarmu

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NABASTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang