BAB 2

45 17 19
                                    

Kota metropolitan bagai kota mati itu menjadi tanda tanya saat Jane memasukinya. Tak ada suara hiruk pikuk, tak ada kendaraan melintas, bahkan hewan pun tidak ada. Ia berpikir bahwa surga memang selalu hening dan terasa damai, tetapi tempat ini bahkan tidak memiliki suasana damai. Entah mengapa Jane justru merasa kalau kota ini terasa mencekam dan berbau seperti daging panggang. Setiap tokonya bercat merah, beberapa memiliki kanopi, dan bunga-bunga spider lily. Belum lagi warna jalannya tak biasa, warna merah seakan-akan aspal di sana terbuat dari darah.

Setiap kali Jane mengintip jendela, isinya hanya berupa makanan, obat-obatan, pakaian seperti militer, dan senjata. Sejauh kakinya melangkah, si perempuan tidak menemukan toko buku atau sewa permainan video. Bangunan perpustakaan dan toko buku seperti langka di sana. Namun, toko dengan kanopi hijau menarik perhatiannya. Tampak berbeda dari kebanyakan toko di sana, dan sebuah ukiran buku terbuka menggantung di dinding tokonya. Jane senang sekali, ia pikir sekarang saatnya melihat-lihat buku-buku apa saja yang kira-kira tersedia di toko itu.

Jendela besar di kedua sisi pintu memperlihatkan dalam toko. Manik Jane bisa dengan jelas melihat ada perempuan lain tengah menyantap keik dengan santai. Ada rasa senang yang muncul dari dalam hati, setidaknya Jane tidak benar-benar sendirian di kota itu. Tanpa pikir panjang ia langsung memasuki toko dengan kanopi hijau. Suara pintu terbuka rupanya membuat perempuan di dalamnya menoleh dengan wajah angkuh. Sekarang, Jane malah merasa canggung, jadi ia hanya mengangguk dan berlari pelan ke etalase yang menyimpan banyak keik mewah. Air liurnya langsung saja menetes, tak pernah terpikirkan olehnya dapat mencicipi keik-keik itu. Terlebih lagi, stroberi mille-feuille yang masuk ke daftar keinginannya kini terpampang nyata di sana.

"Apa kau seorang pelajar?"

Suara perempuan sontak membuat Jane tak jadi mengambil stroberi mille-feuille. Ia mendengkus pelan, dan sekeras mungkin menahan ekspresi kesalnya. "Bukan. Aku pengangguran."

"Oh, maaf. Kukira kau seorang pelajar. Tubuhmu seperti remaja-remaja SMA," ujar perempuan bertubuh semampai yang kini berjalan menghampiri Jane. Saat mereka berdiri sejajar, tingginya melebihi Jane. Perempuan itu lalu membuka etalase dan mengambil sepiring cheese cake. "Kau orang ketiga yang kutemui saat aku sampai di sini."

"Syukurlah, tadinya aku kira surga ini sepi," timpal Jane sembari mengambil sepiring stroberi mille-feuille. Kepalanya kemudian bergerak melihat seisi ruangan yang hanya terdapat meja-meja persegi bertaplak merah, kursi-kursi hitam, makanan di segala tempat, dan lukisan-lukisan abstrak. Tak ada satu pun buku di sana.

"Surga?" Perempuan dengan rambut ikal pirang tertawa mengejek. "Kau kira kau sudah mati? Apa kau tidak pernah mendengar dunia fantasi? Dunia ajaib seperti Wonderland atau Narnia? Oh, jangan bilang kau tidak pernah baca buku."

Jane menoleh dengan mata membesar, antara marah dan terkejut karena perempuan itu tampaknya tak sepemikiran dengannya. "Aku tahu Wonderland dan Narnia," katanya dengan nada ketus. "Tapi ... bagaimana kau bisa sampai di sini?"

Si lawan bicaranya hanya tersenyum tipis, kaki jenjangnya melangkah ke meja. "Aku mengikuti seorang gadis bermantel merah ke dalam sebuah ruangan di studioku. Dan aku terkejut ada kota indah di baliknya."

Jane sontak menganga, matanya membesar tak percaya ucapan perempuan itu. Ia juga yakin bahwa gadis yang dikatakan perempuan itu kemungkinan adalah orang yang sama yang mendorong Jane menemui ajal. Namun, perbedaannya si perempuan pirang tidak melewati kematian dulu untuk sampai di kota misterius berbau daging panggang.

"Aku sampai di sini karena gadis bermantel merah mendorong tubuhku di depan kereta yang melaju," ucap Jane pelan seraya mengalihkan pandangan.

"Setidaknya caraku masuk ke dunia ini lebih manusiawi," timpal si perempuan dengan senyum angkuh.

Jane ingin mengabaikannya, walau di dalam hati ia senang bertemu manusia lain. Jiwa penyendirinya kambuh lagi, sehingga membuat Jane ingin mencari tempat sepi untuk menikmati stroberi mille-feuille. Ia lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari-cari tempat nyaman. Alangkah bahagianya ia menemukan sebuah tangga melingkar ke lantai atas. Cepat-cepat ia berjalan menuju tangga melingkar di ujung ruangan. Awalnya kaki itu ragu, tetapi melihat perempuan pirang membuat dirinya terus menapaki anak tangga. Sebuah pintu hijau tua menjulang di sana. Gagang pintu yang berwarna cokelat memiliki ukiran rumit. Sebuah keberuntungan untuk Jane karena pintunya tidak dikunci, sehingga ia bisa masuk ke dalamnya.

Ruangan di balik pintu tidak seperti di lantai dasar. Di sana, karpet merah tua menutupi lantai, dinding dipenuhi oleh rak-rak buku, empat sofa, meja kayu, dan meja kerja dengan komputer juga alat tulis. Tempat itu benar-benar seperti surga untuknya, dan Jane yakin akan nyaman di sana.

Setelah menaruh sepiring keik di meja, perempuan itu melihat-lihat buku yang ada. Mencoba menduduki sofanya, dan berdiri di depan jendela bertirai abu-abu. Seulas senyuman terukir di wajahnya. Setidaknya kali ini ia bisa bersantai dengan damai, sejenak melupakan masalah hidupnya dan pertanyaan-pertanyaan seputar kota yang terlihat bagai kota mati. Tak akan ada gangguan lagi, semuanya akan berubah mulai hari itu.

Sambil menikmati stroberi mille-feuille dan buku menarik, indera pendengarnya menangkap suara kembang api. Jane meletakan bukunya di atas meja, ia penasaran pada suara itu sebab aneh rasanya ada seseorang yang menyalakan kembang api di siang bolong. Cahaya matahari pastinya akan membuat kembang api tak terlihat.

Disibaknya sedikit tirai abu-abu. Awalnya semua tampak biasa, jalan beraspal merah yang sepi, dan perempuan pirang yang tadi bersamanya tengah berjalan di trotoar. Jane sama sekali tidak menyadari bahwa perempuan itu telah keluar. Mungkin karena terlalu hanyut dengan aktivitasnya sendiri. Namun, maniknya melihat sesosok aneh mirip manusia dengan tubuh lumpur dan mulut besar keluar dari pertigaan. Sontak saja perempuan pirang itu menjerit sembari berputar arah, tetapi sosok itu berlari sangat kencang dengan geraman mengerikan sampai-sampai Jane pun bisa mendengarnya. Tak butuh waktu lama untuk sosok aneh mencabik perempuan pirang. Setelah tubuhnya limbung, mulut si sosok aneh membuka dengan sangat lebar, melahap kepala perempuan itu dengan nikmatnya.

Jane langsung terperanjat, jantungnya berpacu bak genderang perang. Kakinya terasa seperti jelly, dan gemetar hebat merayapi tubuhnya. Kejadian tadi kembali terputar di kepalanya, rasa sesak seakan memenuhi dadanya. Ia ingin sekali menangis.

"I-ini bu-bukan surga. I-ini neraka."

The Crimson Game [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang