01 | Aku

165 7 2
                                    

Assalamualaikum, hai! Ketemu lagi sama aku! Nay dan Rangga siap nih buat nemenin masa gabut kalian! Sebelumnya, follow dulu, yaa supaya tambah semangat nulisnya ^^

Happy reading

***

"Woi! Jangan lari!" Aku terus mengejarnya sampai harus melewati beberapa keranjang buah yang berserakan di sekitar jalanan pasar itu.

Lari dan terus berlari, napasku terengah-engah ketika sampai di perempatan jalan. Bingung, kemana larinya jambret itu? Tidak, tidak mungkin jambret itu berlari cepat sekali, karena jalannya cukup panjang dan memakan waktu cukup lama. Napasku memburu sehingga aku berhenti dan memagangi kedua lutut yang terasa lemas sekali.

Brak!

Dentuman keras mwndarat di punggung kananku. Pandangan ini perlahan memburam dan akhirnya berujung pada kegelapan. Apa yang terjadi setelahnya aku tak tahu pasti. Tubuh sudah semakin lemas dan tidak bisa menahan agar tetap berdiri.

Sampai pada akhirnya, mata ini terbuka. Menghadirkan diri di tempat yang dikenal. Aku mengecek semua pakaian yang sebelumnya melekat di tubuh, dan bersyukur. Ternyata, masih menempel dengan seutuhnya tanpa ada yang lecet sedikit pun. Atma ini sudah lega dan tak lagi terbebani.

"Udah bangun?" Saatku beranjak dari kursi panjang, tiba-tiba suara lelaki mengagetkanku. Sontak aku menoleh ke arah sumber suara dan membulatkan mata ke arahnya.

"Lo ... ngapain di sini?" tanyaku sambil segera beranjak dari kursi panjang.

"Kenapa?" tanyanya sambil melangkah dan mendekat ke arahku. Sambil mundur ke belakang, aku terus saja bergidik ngeri. Ide muncul di otak ini, aku merogoh saku dan menemukan benda di dalam sana.

"Lo tau, kan gue selalu bawa apa di saku? Heh?" tanyaku berusaha menakutkannya. Dia berhenti mendekat dan mematung di langkah kepercayaan dirinya hilang.

"Hehe," ujarnya sambil mundur ke belakang. Akhirnya ... takut juga, kan?

"Hehe, hehe. Nih!" Kulempar saja mainan cicak tadi ke arahnya. Sontak, dia langsung lari dengan langkah yang membuat mulut tak bisa menahan tawa. Sebab, langkah larian itu persis seperti anak perempuan. Dia laki-laki, bukan?

"Dasar cowo penakut! Haha."

Aku tertawa geli di tempat ini. Tempat dengan cahaya yang bermodalkan pantulan cahaya matahari saja. Namun, semua mengingatkanku pada masa lampau. Di mana saat kita bertiga bermain bersama. Nay, Rangga dan Rey. Rey ... yang sudah lama meninggalkan kita tanpa pamit sekali pun. Sudah dijemput-Nya. Dia yang paling disayang oleh Allah. Sudahlah ... mengingat semua ini hanya akan terus membuat air mata ini menetes lebih banyak.

***

"Tumben. Siang-siang gini udah pulang," sahut suara itu yang membuatku berhenti sejenak.

"Suka-suka gue," jawabku sambil melanjutkan langkah kaki yang tertunda karena suara tak pentingnya itu.

Kau tahu itu siapa? Dia Bundaku. Iya, Bunda yang tidak pernah menganggap anak satunya ini ada. Bahkan, tak pernah menganggapnya sebagai anak kandung. Selalu diremehkan dan dikucilkan seenaknya, dibanding-bandingkan dengan anak keduanya yang lebih cantik dan modis. Sampai pada akhirnya, aku tumbuh menjadi perempuan berhijab yang tomboi. Ini semua dari dukungan Nenek yang selalu memeprlakukan cucunya dengan baik. Akhlak ... masih minim. Bahkan, masih sering bertarung dengan geng-geng motor lainnya. Aneh.

"Punggung gue sakit banget, hm ...," lirihku sambil menjatuhkan tubuh ke ranjang. Pasti gara-gara tadi kena pukul oleh preman sialan itu.

"Non ...."

"Iya, Bi. Masuk," jawabku sambil menatap langit-langit di atas.

"Non belum makan, kan? Maka dulu, Non," ucap Bibi sambil menarih makanan dan minuman di meja yang tersedia.

Nay dan RanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang