HENTI

273 29 11
                                    

SERIAT

/berhenti (tentang hujan), reda/

!!WARNING!!

Ini panjang banget, mungkin kalian akan merasa bosan. Tapi, kalau ada yang baca, boleh tinggalkan jejak berupa klik favorit dan komen? Terimakasih^^

Mendung mengawali pagi yang seharusnya ceria. Membawa pada luka bersamaan dengan sakit yang tak kunjung reda. Sebuah masa dimana dewasa menjadi siksa, tangis yang tak mereda, dan luka yang terus menganga.

Pagi ini terbangun dari tidur lelahku karena suara gemuruh yang tak kunjung henti sejak malam kemarin. Membawa langkahku pada jendela kamar yang basah oleh percikan air hujan. Termangu dalam dinginnya pagi yang menusuk tulang. Mengeratkan genggaman pada jaket hitam milikku yang tidak kunjung menghangatkan tubuh.

Hujan. Entah mengapa aku mulai menyukai hujan. Membiarkan hujan deras terus datang, dan membawa bising oleh suara jatuhnya yang mengenai atap.

Mengingat kembali luka yang berusaha ku tutup namun terus bertahan.

Ah, dewasa itu menyebalkan. Membawamu pada masa dimana kamu lelah namun tak bisa berhenti. Kamu jengah tetapi tidak dapat berbalik.

Bodoh. Bisa – bisanya dulu aku sangat mendamba dewasa. Menghayal hidup menyenangkan dan bebas karena sudah mulai berusia. Bisa membeli apapun yang ku inginkan karena sudah bekerja.

Tidak. Dewasa sama sekali tidak menyenangkan. Dewasa hanya terus membawa kita pada luka yang dipaksa untuk tertutup meski belum sembuh sepenuhnya. Dewasa memaksaku menaburi lukaku dengan garam.

Tanganku bergerak menyentuh permukaan jendela. Merasakan dinginnya kaca jendela kamarku yang sudah berjam – jam terkena hujan.

Masih sama. Dingin dan sesak yang terus menggerogoti.

Aku masih terus menatap lurus kedepan. Memandangi pantulan diriku yang terlihat samar.

Suram. Satu kata yang terlintas dalam benak. Aku rasa orangpun akan setuju dengan itu. Melihat keadaanku kini yang sama sekali tidak baik – baik saja.

Sudahlah, cukup.

Aku kembali membawa langkahku. Kali ini menuju kursi dan meja yang tersedia dikamarku. Mengambil sebuah buku yang selalu tersimpan rapi pada tempatnya. Mengambil sebuah pena, aku mulai mencoretkan setiap rasa yang datang. Bertubi – tubi dan menghujam jantung dalam satu kali hentikan.

Lagi.

Kini merah yang menghampiri. Membawa alarm pertanda buruk untuk otakku. Tapi aku masih enggan beranjak. Memilih membiarkan jariku terus bergerak liar sesuka yang Ia mau. Meski harus dengan sedikit perjuangan karena getaran pada tanganku tidak juga mau berhenti.

Dan setelahnya, aku kembali pada mimpi buruk yang terburuk.

.

"Mama mau kemana?" Suara seorang remaja terdengar kala sepasang suami istri dan seorang anak laki – laki hendak memasuki mobil miliknya.

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mengalihkan pandangannya pada remaja yang baru saja bertanya padanya. "Mama papa sama adik kamu mau jalan – jalan sebentar. Kasian adikmu bosen."

"Kalau gitu, aku boleh ikut, ma?" Ia bertanya lagi dengan pandangan penuh harap.

"Kamu dirumah aja ya? Jaga rumah. Udah ya, mama mau berangkat. Ayo sayang."

Dan sosok wanita yang tadi Ia panggil dengan sebutan mama meninggalkannya begitu saja sambil menggenggam erat lengan anak lelaki tadi.

Dengan pandangan kecewa, Ia memasuki rumahnya. Berjalan gontai menuju kamarnya yang berada dilantai 2.

SERIATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang