Tatkala Bicara Cinta (TBC) #1

46 10 3
                                    

Tatkala Bicara Cinta

Resah dan gelisah, menunggu di sudut sekolah, tempat yang kau tentukan untuk bertemu dan membayar hutang yang sudah telat tiga bulan. Padahal kau tahu *hutang adalah janji, tapi sudah berkali-kali, kau yang berjanji kau yang mengingkari. Kalau kutahu begini akhirnya, takkan pernah kupinjamkan uang padamu.

Mataku terpaku pada cicak hitam, yang menempel di dinding, diam-diam merayap, seakan mau curhat tentang apa yang ia lakukan di sini: menanti nyamuk katanya. Tidak aneh dan kecewa, sudah kuduga, ia pasti mangkir lagi dari janjinya, lebih baik kuputuskan saja pergi dari sini.

Halaman sekolah masih ramai meski bel sudah lama berbunyi.

"Jaka!"

Langkahku terhenti, kala menengok, "Hee!" Jantungku copot, menyusul berikutnya paru-paru, ginjal dan pankreas. Beruntung bisa dipasang lagi. (Memang puzzle?)

Putri Srikandi, siswi yang baru pindah hari ini, mengarahkan panah padaku, meski ujungnya karet tetap saja membuat jantung dag-dig-dug-dor.

"Jaka Arjuna, aku jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu kuputuskan untuk menembakmu padangan kedua!" Tali busur dilepas, (syutt) anak panah melesat, (tak) menancap di kepala, aku pun jatuh. (Gubrak)

Tembakan kedua siap dilepaskan.

"Jadi kau akan menyerahkan kerajaan cintamu sekarang juga atau harus melalui sebuah peperangan terlebih dahulu?"

"Hee? Tu-tunggu~ kita belum kenal lama, bagaimana bisa_"

Jleb - menancap di pundak.

"Aku yakin dengan perasaanku, insting pemburu tak pernah keliru!"

'Memangnya aku sejenis binatang buruan?' (Tidak sadar diri bahwa selama ini dia adalah kelinci berbulu angsa)

Anak panah ketiga siap di posisi.

"Terlalu jika harus menanti, karena ku tak percaya ungkapan: Cinta tak harus memiliki!"

"Bagaimana bisa kau menyebut ini cinta? Jangankan diriku, semut pun tak mau bila terlalu dipaksa seperti ini!"

Syutt - menancap di lutut, busur segera diisi ulang.

"Memangnya aku ini kurang apa, haa! Cantik rupawan, kaya hartawan, darah bangsawan!" Matanya memancarkan sifat kekanakan; harus mendapatkan apa yang diinginkan.

"Kurang pengalaman, karena cinta tidak selamanya indah dan berakhir bahagia."

Syutt - menancap di kaki, anak panah terakhir ia arahkan ke perut. Aku baru sadar: panahnya ada 5, rupa-rupa targetnya; kepala, pundak, lutut, kaki dan juga perut. Panahnya warna hijau, hatiku jadi kacau, menyerah berarti kalah, kalau melawan urusan bakal panjang.

"Salahkah bila diriku terlalu mencintaimu?"

"Maafkan aku, karena aku ada rahasia_" Syutt - anak panah melesat, (tap) satu tangan menangkapnya sebelum sempat menancap. Dewi Sintania mencerca dengan pandangan membabi ngepet.

"Setan apa yang merasukimu? Hingga kau tega melukai Jaka, menancapkan panah beracun asmara kepada dirinya. Hanya karena kaya, kau pikir kau bisa punya segalanya!"

"Siapa pun kamu, aku tak peduli, karena yang kutahu pasti Jaka masih sendiri. Minggir!"

Tak hanya perang mulut, pertarungan jalanan pun digelar - Putri Srikandi vs Dewi Sintania, fight:

"Jurus Tinju: Minggir Kau Pengganggu!" Serangan melaju. (Wush)

Telapak Suci Menjaga Hati - Dewi membangun pertahanan sekuat benteng batu, (bledug) "Janjiku dengan Jaka bagai batu karang di sana, tak akan goyah walau diterjang badai godaan."

"Gempuran Cinta Membara Rindu Menggebu!" Hujan tinju melabrak Dewi, (bag-big-bug-bang) kemundurannya membuat Putri memenangkan laga.

(bersambung)

Tatkala Bicara Cinta-->Sudah Jadi Buku AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang