Keihklasan

5 3 1
                                    

Langkahnya mulai mengitari matras sore itu, seolah semangatnya kian membara ketika sebentar lagi akan mengikuti pertandingan antar provinsi. Bintan memang mengikuti karate atas kemauannya sendiri, bahkan dia juga sudah mulai mengantongi beberapa medali sekarasidenan.

“Larinya lebih semangat lagi,” teriakan Sensei membuatnya semakin bersemangat.

Sensei biasanya di pakai untuk memanggil pelatih atau guru dalam laga karate, entah memiliki tingkatan DAN berapa jika dia menjadi pelatih atau instruktur dia di panggil Sensai.

“Bulan depan sudah pertandingan, harus lebih lagi powernya.”

 Teriakan demi teriakan yang di lontarkan sensai bukan ingin membuat Bintan kepikiran tapi hanya ingin lebih semangat lagi dan lebih fokus dengan pertandingannya agar nanti bisa mendapatkan apa yang pantas di dapatkan atas perjuangannya selama ini.

“Bintan, sini Push Up.”

“Osh.”

Bintan hanya mampu menjawab osh dan segera berlari lalu melakukan perintah Sinsei, kata osh itu berarti terima kasih atau saya mengerti dan kata itu biasa di ucapkan. Sebelum dan saat pulang latihan karate bisa juga saat ada perintah.

Setelah melakukan latihan selama dua jam akhirnya latihan hari ini selesai, namun tidak hanya di situ, semua anggota yang akan bertanding di ajarkan untuk tetap latihan meskipun di rumah, bahkan tak hanya itu jika hari minggu mereka harus melakukan fisik.

“Bintan, kalau di rumah latihan terus, powernya di tambah.”

“Osh.”

“Jangan lupa gerakannya di hafalin, biar bisa gerakannya serempak dan tak ada ragu-ragu.”

“Osh.”

Bintanpun segera bergegas pergi ke luar karena sang ibu pasti sudah menunggunya, iya ibunya selalu mengantarkannya latihan, bahkan sering kali mengantarkannya lari ke samping danau dengan menggunakan sepeda anginnya. Itulah seorang ibu akan memperjuangkan dan mengorbankan apapun itu demi kesuksesan dan mimpi sang anak bahkan tak peduli panas dan hujan pasti akan terus di tempuh.

“Bintan sudah selesai latihannya?”

“Sudah, Bu.”

“Kita langsung pulang ya, langit mendung sepertinya akan turun hujan.”

Bintanpun segera menaiki sepeda dan sepeda angin di kayuhnya membelah kota yang di sebut dengan kota pahlawan itu. Namun saat di perjalanan hujan mengguyur mereka dan terpaksa merekapun mencari tempat untuk segera berteduh. Saat mereka berteduh matanya sedang fokus dengan anak yang tak jauh darinya, anak yang sedang mengumpulkan beberapa bekas kardus dan botol minuman.

“Kenapa anak kecil seperti dia harus mencari botol, Ibu?”

“Karena mereka ingin membantu orang tuanya untuk sekedar bertahan hidup.”

“Bukankah anak kecil tidak boleh bekerja?”

“Tapi itu semua bukan pilihan dan tidak bisa di tinggalkan.”

“Kasian sekali ya, Ibu.”

“Kamu harus bersyukur, Sayang. Karena ibu dan ayah masih sanggup memberikan apapun yang kamu mau.”

“Ibu, bolehkah aku meminta uang?”

Ibunya masih bingung dengan apa yang di lakukan anaknya karena selama ini Bintan memang tidak pernah meminta apapun, dan jarang sekali mau di beri uang untuk jajan. Setelah sang ibu memberinya uang, Bintan berjalan ke sebelahnya dan membeli bakpau pada bapak tua yang juga sedang berteduh. Lalu berjalan lagi ke arah anak kecil yang ada di samping ibunya untuk memberikan bakpau itu. Bintan mungkin masih bisa di bilang anak kecil, namun anak kecil memiliki hati yang lembut dan dermawan.

“Anak ibu memang hebat.”

Bintan hanya mampu memeluk dan berkata terima kasih sudah melindunginya dari kerasnya kehidupan yang terlalu fana ini. Kehidupan yang terlalu keras namun harus tetap di jalankan dan tak ada penolakan. Setelah hujannya sedikit reda Bintan dan sang ibu pun segera bergegas pulang, namun saat ingin pulang anak kecil yang bernama Rio itu menghampiri Bintan dan memberikan gantungan kunci untuk Bintan.

“Kakak, meskipun ini hanya lusuh dan aku dapatkan di jalan tapi aku berharap kakak mau menerima.”

“Tapi ini bisa untuk kamu mana di rumah.”

“Ini lebih berharga jika aku berikan pada kakak yang sudah menolongku menahan lapar dari tadi.”

Belum sempat menjawab, anak kecil bernama Riopun segera berlari, dan Bintan hanya mampu menatap punggung anak tersebut. Dia tidak membuang gantungan itu malah dia membawanya pulng ke rumah.

*

Adzan Magrib mulai berkumandang, Bintan segera bergegas pergi ke kamar mandi dan segera menunaikan kewajibannya yaitu sholat. Namun saat dia berjalan menuju kamar mandi bingkai foto keluarga yang terpasang kuat itu tanpa angin dan apapun jatuh, hatinya penuh dengan rasa khawatir dengan kondisi ayahnya yang ada di sana.

Bintan hanya mampu membersihkan puing-puing kaca yang pecah dan bahkan dia hany bisa menenangkan hatinya agar apa yang di pikirkannya itu tidak benar. Bintan mulai menggelar sajadahnya. Lalu dia memohon pada sang pemberi segalanya agar selalu menjaga ayahnya dari segala mara bahaya saat bertugas.

Setelah selesai sholat, belum ada beberapa jam sudah ada yang mengetuk rumahmu, ternyata ibu Tio, yang tinggal berdampingan dan suaminya juga bertugas dengan sang ayah, ibu Tio memberikan berita bahwa ayahnya sedang menelepon dan ingin berbicara dengannya. Maklum keluarga Bintan memang tak memiliki ponsel tapi untungnya ada tetangga dan teman satu letting ayahnya yang selalu baik dan membantunya.

“Assalamualaikun, Ayah.”

“Alaikumsalam, Nak.”

“Ayah bagaimana kabar di sana? Pasti ayah tidak apa-apa kan.”

“Doakan terus ayah semoga selalu sehat, seminggu ini ayah sedang sakit tapi alhamdulilah sekarang sudah mending.”

Mendengar ayahnya sakit dia hanya mampu terdiam dan mencoba menutupi rasa sedihnya bahkan mencoba menutupi air mata yang ingin menetes, bagaimana tidak di saat jauh seperti ini bahkan di tempat yang jauh dari apapun dan sangat rawan ayahnya harus melawan sakit. Bintan hanya mampu berkata iya dan setelah selesai bersua melepas sedikit rindu, Bintan memilih mengakhiri percakapannya karena tak enak jika harus menghabiskan pulsa banyak meskipun sudah terlalu akrab dan baik.

kado untuk ayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang