Seorang pria nampak berjalan menyusuri setiap ruang di rumah yang tak lagi berpenghuni. Netranya menatap sendu pada beberapa ruang yang ia masuki. Semua pondasi terlihat semakin lapuk, mungkin hanya tinggal menunggu waktu. Atapnya pun sudah banyak yang berlubang, bahkan ruangan dapur juga sudah roboh beberapa tahun silam. Tidak ada lagi cahaya yang menerangi selain daripada sinar mentari.
"Lo disini juga?"
Dirinya dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang, tentu saja tanpa di undang.
"Lo sendiri ngapain disini?" tanyanya penuh keheranan.
"Gue baru pulang ngunjungin dia, kebetulan toko lumayan sepi, jadi bisa gue tinggal. Waktu ngelihat ada motor lo, gue ikut mampir sekalian," jelasnya.
"Lo masih sering kesini?" tanyanya kembali, ketika lawan bicaranya ini justru masih tenggelam dalam pikiran, dan mengabaikannya.
"Seminggu sekali gue dateng. Kalau jadwal padat banget, minimal dua minggu sekali gue kesini," jawabnya tanpa memalingkan wajah. Tangan kekar itu sibuk mengusap-usap beberapa perabotan yang sudah di selimuti debu.
"Lo yakin, nggak mau ngerubuhin rumah ini aja?" ucap pria jangkung itu.
Gerakan Kama terhenti, begitu indra pendengarannya mencerna hal itu. Apa? Merubuhkan? Jangankan merubuhkan, tidak mengunjungi rumah ini saja membuatnya hampir tidak waras.
"Terlalu banyak kenangan tentang dia disini, Loka. Kalau rumah ini di rubuhin, gue gak tau bisa ngenang dia dimana lagi."
Matanya terpejam. Otaknya memutar kembali momen-momen indah yang pernah ia lalui bersama seseorang di rumah tua ini. Iya, momen yang tentunya mustahil untuk bisa dirasakan lagi.
"Lo gak lihat udah selapuk apa pondasi rumah ini? Cepat atau lambat, rumah ini juga bakal rubuh."
"Gue tau, tapi tetep aja gue gak sanggup buat ngeratain rumah ini. Disini, gue bisa dengan bebas mengenang kehadirannya," ujar Kama, sembari meniup debu yang menempel pada jari.
Loka menatap kasihan pada pria di hadapannya ini. Kama terlihat kehilangan semangat hidupnya. Mereka jarang sekali bertemu, apalagi setelah kepergian seseorang yang Kama cintai. Namun, bisa ia pastikan tubuh pria tersebut cukup kurus jika dibandingkan dengan 9 tahun yang lalu. Dari yang ia dengar, seringkali mereka menemukan Kama tengah melamun.
"Ini udah hampir 10 tahun berlalu. Lo harus bener-bener ikhlasin dia. Percaya sama gue, dia juga mau lo bahagia, dengan menikmati hidup. Sama seperti apa yang dia lakuin dulu. Kita juga gak seneng ngelihat lo terus berkutat di masa lalu. Lo boleh ngenang dia, tapi jangan jadikan dia sebagai alasan lo untuk menjauh dari masa depan lo."
"Gue selalu berusaha." Kali ini pria itu tersenyum. Sama persis seperti apa yang dilakukan orang yang ia cintai. "Gue menikmati hidup kok. Gue juga nggak menjauh dari apa dan siapapun. Anggap aja ini cara gue buat nikmatin setiap waktu yang gue lalui. Lo santai aja," ucapnya, sambil menepuk pelan pundak Loka.
Loka justru tersenyum kecut, melihat Kama tersenyum padanya. Mungkin jika Loka adalah orang asing, ia akan merasa lebih baik setelah melihat senyuman itu. Sayangnya, Loka kenal dengan baik pemilik senyuman itu. Walau sudah bertahun-tahun lamanya, pemilik senyuman itu pergi meninggalkan mereka.
"Kalau gitu gue balik dulu. Oh, iya, kalau mau ngunjungin dia, mending sekarang. Soalnya gue lihat awan mulai mendung." Akhirnya, ia memilih pergi. Bukan tak ingin menemani pria ini. Hanya saja, Kama cenderung ingin sendirian ketika mengenang tentangnya.
"Thanks sekali lagi."
Hanya kata itu yang dia ucapkan, sebelum Loka pergi meninggalkannya sendirian disini. Kembali sendiri, sama seperti waktu yang sudah berlalu.
Tak lama Loka pergi, Kama langsung beranjak. Dia tentu tak ingin keinginannya hari ini terkendala oleh hujan. Biarlah kali ini dia basah. Biarkanlah kali ini dia menyatu dengan hujan, tapi izinkan Kama sampai lebih dulu sebelum hujan.
"Dulu atau pun saat ini, gue gak akan biarin hujan nyapa lo lebih dulu." Dia memacu kendaraannya, melesat jauh meninggalkan rumah tak berpenghuni itu.
Hanya membutuhkan waktu 20 menit baginya untuk sampai di kediaman yang baru milik seseorang yang berharga baginya. Seseorang yang mengajarkannya bagaimana cara menikmati hidup dan mensyukuri segala hal yang ia miliki.
"Hai, gue dateng. Enggak telat 'kan?" Hening. Dia masih tetap tersenyum. Sudah ratusan kali ia kesini, tetap saja rasanya masih menyakitkan. Kenyataan ini teramat pahit untuk ia terima. Angin dingin mulai berhembus, pertanda bahwa hujan sudah turun di tempat lain.
"Minggu ini gue bawain bunga matahari. Gue nyari kesana kemari, tapi nggak nemu bunga kesukaan lo," ucapnya sembari meletakkan bunga itu dengan perlahan.
"Minggu depan deh, gue bawain bunga kesukaan lo. Kalau perlu gue bikinin buket yang gede banget. Lo mau?" Sunyi. Selain suara guntur di kejauhan, dia tidak mendengarkan suara apapun lagi.
"Keliatannya bentar lagi hujan. Lo tau gak? Gue mulai suka rela basah karena hujan. Apalagi itu buat lo. Butuh waktu lama bagi gue buat bisa nerima hujan. Nggak tau kenapa, setiap hujan turun, justru lo itu seakan-akan menari di pikiran gue." Suara Kama mulai bergetar. Kepalanya tertunduk. Satu tetes air mata lolos begitu saja, tanpa diminta.
"Pasti lo bilang gue lebay. Sama yang kaya gue ucapin waktu pertama kali kita ketemu." Kama tertawa renyah, saat memori ketika mereka bertemu kembali terngiang di pikiran. Lucu. Itulah satu kata yang menggambarkan pertemuan mereka saat itu.
"Andai bisa, gue mau muter waktu. Supaya bisa lama-lama sama lo. Selama apapun gue hidup, terasa kurang lengkap tanpa kehadiran lo." Pria itu mulai menyamankan posisi duduknya.
"Dari lo, gue belajar untuk menerima keadaan dengan pikiran positif. Walau itu keadaan terburuk sekali pun. Gue nggak pernah lihat lo putus asa, sampai akhirnya ... lo nyerah. Nyerah dengan kekejaman dunia ini.". Kini, ia bukan lagi sibuk mengatakan hal-hal yang dia pendam. Namun, mencoba menyembunyikan kristal bening yang siap kembali meluncur.
Hujan deras menyapa, begitu dia mendongakkan kepala. "Bahkan alam pun setuju dengan apa yang gue ucapin. Setelah gue tau alasan lo suka hujan, sekarang gue ngerasain hal yang sama. Gue suka hujan, karena rintiknya ngebuat kenangan tentang lo berputar kembali di memori gue."
Dia mengusap makam itu dengan penuh kasih sayang. Bagaimana pun dirinya tetap menjadi seseorang yang ia cintai. Mungkin, Kama tak bisa menjadi tembok untuk gadis itu bersandar, apalagi menjadi payung untuknya berlindung. Namun, Kama selalu berusaha menjadi cahaya yang menerangi hidupnya yang gulita, serta menjadi tongkat yang membuatnya tetap bertahan.
"Gue masih tetap bersedia, untuk jadi suara dalam hidup lo. Nunjukin ke diri lo, betapa indahnya dunia, tanpa melalui suara."