03. Mara; Sebuah Hukuman

7 0 0
                                    

Begitu hujan reda, Mara segera berlari meninggalkan Kama dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Gadis itu bahkan tidak peduli dengan rok yang dia kenakan. Hampir satu jam lamanya dia menunggu hujan reda. Tentu saja, kesempatan ini tidak akan disia-siakan.

"Aku harus lebih cepat. Ayah pasti sudah menungguku." Hujan belum sepenuhnya hilang, masih tersisa gerimis yang cukup untuk membuatmu basah jika berlama-lama di luar tanpa pelindung.

Mara berharap bahwa hari ini akan menyelamatkannya dari amukan sang ayah. Pulang terlambat adalah kesalahan terbesar yang ia lakukan di awal minggu. Belum sampai 10 menit gadis itu berlari, hujan sudah kembali datang membasahi bumi.

Gadis itu berhenti dan diam mematung, lalu mendongakkan kepalanya. "Apakah hari ini kalian kesal padaku? Setidaknya biarkan aku tiba di rumah dengan pakaian yang lembab. Kalian benar-benar tidak mengerti keadaanku," ocehnya di dalam hati.

Merasa bahwa kali ini berbicara dengan hujan hanya akan membuang waktunya, ia kembali berlari sekencang yang dia bisa. Membuat napasnya tersengal-sengal. Sekarang sepatu miliknya benar-benar basah. Cipratan lumpur pun turut menghiasi, seakan menambah lengkap penderitaannya. Dia sama sekali tidak memperdulikan penampilannya yang terlihat sangat berantakan. Hal paling utama yang harus ia lakukan adalah harus segera menyiapkan makanan untuk sang ayah.

Pintu berderit begitu Mara mendorongnya. Ia benar-benar harus hati-hati memperlakukan segala perabotan yang ada di rumahnya. Semuanya terlalu berharga. Pertama ia melepaskan sepatunya yang kotor terkena lumpur, lalu membasuh kakinya dan berjalan masuk perlahan.

"Anak sialan! Darimana saja kamu, huh?" Mara terlompat kaget, begitu suara pria paruh baya meneriakinya dengan keras dari arah belakang. Belum sempat lagi ia menoleh, rambut miliknya sudah lebih dulu di tarik dengan kencang. Membuatnya berteriak tanpa suara.

Mara jatuh terduduk ketika pria itu menarik rambutnya. "Udah berani macam-macam kamu sekarang? Anak gak tau di untung! Saya besarin kamu bukan untuk main! Kamu lupa kalau ada saya di rumah? Jawab Mara!" teriaknya dengan penuh emosi.

Kalimat itu membuat kepala Mara terasa semakin sakit. Tarikan di kepalanya membuat suhu tubuhnya meningkat. Dinginnya udara saat ini, tidak mampu mengalahkan rasa panas yang ia terima saat ini, akibat jambakan ayahnya.

Sebisa mungkin ia menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan sang ayah. "Sungguh, Yah. Mara gak pergi main. Di luar hujan, Mara berteduh dulu sebelum pulang. Mara mohon lepasin, Yah. Sakit ...." Wajahnya yang ceria sirna seketika, terganti raut wajah memelas penuh permohonan.

Pria yang di sebut dengan panggilan ayah itu pun seakan buta, dan tidak melihat penderitaan yang tersirat di mata putrinya. Dengan kasar, ia menarik papan tulis magnetik yang terkalung di leher Mara, hingga membuat tali plastik itu putus. meninggalkan goresan berwarna merah di sana. Rasanya panas dan perih. Tali itu seperti ingin mengelupas kulitnya.

"Karna papan tulis busuk ini kan, makanya kamu pulang telat? Lihat apa yang bakal saya lakukan dengan barang ini!"

Lagi-lagi, Mara menggelengkan kepalanya. "Yah, bukan karena itu." Tatapannya memohon begitu sang ayah menjauhkan papan tulis itu darinya.

Seolah peka terhadap apa yang akan dilakukan oleh sang ayah. Dengan cekatan, dia memeluk satu kaki ayahnya. Berharap pria itu membatalkan niat buruknya. "Ayah! Jangan, Yah! Mara, mohon!"

"Lepasin kaki saya sialan!" Pria itu mencoba menendangkan kakinya, agar Mara melepaskannya. Namun, gadis itu tetap keras kepala. Membuatnya semakin geram. Tangannya lalu mencengkram kuat rahang mungil Mara. "Kamu itu bisu, bukan tuli! Jadi kamu tentunya paham dengan apa yang saya ucapkan!" ucapnya sembari melepaskan cengkramannya.

Tangan kanannya terayun bebas, mendarat mulus ke pipi chubby milik putrinya. Panas dan nyeri. Ini adalah kesekian kalinya sang ayah meninggalkan cap lima jari di pipinya, dan ini bukan yang pertama kali sudut bibirnya berdarah karena perbuatan lelaki berkumis tebal itu.

Tanpa belas kasihan, dia membanting sesuatu yang sangat berharga bagi Mara. Seolah tidak puas, kakinya dengan kuat menginjak papan tersebut sampai hancur. Gadis itu tak bisa melakukan hal apapun, kecuali meratapi perbuataan ayahnya.

Bukannya berhenti, pria tempramen itu justru kembali menarik rambut gadis itu dan menyeret Mara hingga tiba di kamar. "Karena kamu, saya harus mengeluarkan uang saya untuk membeli nasi! Saya tidak mau tahu, minggu depan kamu harus mengganti uang itu! Dua kali lipat! Awas kalau sampai tidak kamu ganti!"

Gadis itu mengangguk berulang kali, bukan lagi kesedihan, sorot matanya mengisyaratkan ketakutan. "Pasti Mara ganti, Yah."

Pintu kamar di tutup dengan sangat keras. Membuat Mara sedikit was-was, bagaimana jika pintu kamarnya rubuh karna kelakuan ayahnya. Papan tulis magnetik itu, ia kumpulkan menggunakan uang dari pekerjaan paruh waktunya. Butuh waktu cukup lama untuk membeli barang tersebut.

Dia tidak tahu jam berapa sekarang. Kamarnya gelap gulita, bohlam di dalam kamar sudah lama tidak berfungsi, tapi Mara tidak memiliki cukup uang untuk mengganti.

Gadis itu meraba-raba dinding kamar, mencoba mencari sesuatu lewat cahaya redup. Kilat dan petir saling melengkapi. Mereka menyambar tak tentu arah, seakan meluapkan amarahnya kepada para manusia penghuni bumi.

Gadis itu bergidik ngeri, sebelum akhirnya menemukan apa yang ia cari. Kamarnya tak begitu gelap, ketika cahaya sentir menerangi.

Tangan mungilnya meraih roti yang tergeletak di atas nakas tua. Sekali lagi, bibirnya menyunggingkan senyum merekah. "Huh, untung masih ada roti ini. Setidaknya malam ini aku tidak harus kelaparan." Gadis itu membersihkan lukanya dan makan perlahan. Sepotong roti ini mungkin akan menahan perutnya yang kosong hingga keesokan harinya.

Baginya hujan terlalu indah untuk di lewatkan. Daripada meratapi nasib, Mara lebih memilih untuk menikmati setiap momen di dalam hidupnya. Menebar kebahagiaan sebisa mungkin.

Matanya menyipit, ketika mendapati sileut seorang pria di kejauhan. Perlahan tapi pasti, dia bisa melihat dengan jelas siapa pria tersebut.

"Bukankah itu Kama? Apa yang pria itu lakukan di lingkungan rumah ini?" Maniknya terus memperhatikan kemana arah pria itu pergi. Dia buru-buru berlari keluar kamar, begitu melihat Kama justru menghampiri rumahnya. Tentunya dengan meninggalkan roti yang bahkan belum ia habiskan.

"Astaga! Mengapa hari ini tidak ada satu pun yang mendukungku?"

Sebelum terdengar ketukan, Mara terlebih dahulu membuka pintu. Tidak lupa ia memberikan senyuman terbaiknya. Ah, ini seakan-akan sudah seperti kewajiban baginya.

"Lo gesit banget. Ini, gue cuman mau balikin ini doang. Waktu lo lari, pena ini jatuh. Daripada gue teriak-teriak mirip orang gila, mending gue ngikutin lo. Ternyata, lo cepet juga ya," ujar Kama panjang lebar, sembari menyerahkan pena berwarna hijau itu kepada Mara. Sedangkan, gadis itu hanya tersenyum seperti waktu pertama kali mereka bertemu.

Sejenak Mara memperhatikan pena itu. Ah, apa yang harus ia lakukan sekarang? Papan tulisnya sudah hancur dan tidak bisa di gunakan. Lalu, untuk apa pena ini bersamanya?

"Hei! Lo kenapa malah ngelamun. Ini pena lo. Lo masih butuh nggak? Kalau enggak, gue buang aja." Mau tak mau, Mara mengambil kembali pena miliknya. Biarlah. Mungkin ini bisa menjadi kenangan. Setidaknya ia pernah memiliki sesuatu yang berharga.

"Cewe aneh," ujarnya sebelum ia benar-benar meninggalkan kediaman Mara.

"Semua orang yang ku temui, selalu memandangku sebelah mata. Apakah ini karena aku yang terlahir dengan ketidaksempurnaan?" Dia masih tersenyum, seraya terus melambaikan tangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tanpa KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang