Love Story

1K 164 13
                                    

Diamanta.

Lebih baik kita pisah.

Kata-kata itu terus terus terngiang di telingaku meskipun sudah dua tahun berlalu. Aku terus tersenyum sinis, bagaimana aku bisa bertahan selama dua tahun setelah perceraian dan harus berhubungan baik karena pernikahan singkat itu menghasilkan makhluk kecil yang tidak berdaya.

Aku menghela napas, aku baru sadar arti dari penyesalan selalu datang terlambat. Jika saja, aku bisa lebih tegas menolak perjodohan dari kedua orang tua kita pasti semua ini tidak akan terjadikan?

Semua bermula dari Isalgo Adhitama Bagaspati yang patah hati karena putus dan ditinggal oleh kekasih yang sangat dicintainya itu menjadi laki-laki amburadul dan tidak tentu arah. Tante Riana ibu Isalgo tidak tega melihat anaknya terus-menerus seperti itu akhirnya menemui ibuku nyonya Rayani untuk melamar aku. Aku yang dibesarkan di keluarga yang sangat otoriter, harus menuruti segala perintah kedua orang tuaku.

Aku hanya bisa menyetujui rencana tersebut, dengan kata lain aku ikut menghancurkan diriku sendiri di masa depan.

Pernikahan itu terjadi dan aku akui, ini tidak sepenuhnya salah Algo. Ia sudah berusaha untuk mencoba dalam pernikahan ini. Sayangnya pernikahan ini hanya bertahan selama dua tahun dan menghasilkan best mistake.

Gamatya Adhitama Bagaspati.

Korban dari keegoisan aku dan Algo. Tapi, aku tidak pernah menyesali Gama yang hadir diantara aku dan Algo. Hanya menyayangkan Gama yang masih kecil harus menjadi korban perpisahan mama dan papanya.

"Diamanta Aristawidya sampai kapan kamu mau melamun di hari pertama kamu kerja?" ucap Anjani menyadarkanku.

"Sorry, kepikiran Gama terus nih."

"Gama apa bapaknya?"

Aku berdecak, "Nggak ya."

"Lah, iya juga nggak apa lagi, Di. Kan dia bapaknya anak lo."

Anjani memang paling tau seluk beluk masalah perceraianku dan Algo. Aku tidak mungkin cerita pada Papa dan Mama bagaimana hancurnya aku setelah pernikahan, aku yang harus memaksakan diri kuat agar Gama bisa menyesuaikan diri dengan perpisahan papa dan mamanya ini.

"Di, move on. Udah dua tahun ini, lo tiba-tiba mau kerja lagi juga salah satu yang bikin gue kaget. Akhirnya lo mau kerja lagi setelah sekian lama dan bangkit lagi."

"Bonus gue lebihan berarti ya?"

Kali ini Anjani yang berdecak, "Suami lo kurang kaya apa sih, Di? Uang bulanan terus jalan, digit di ATM lo lebih banyak dari gue."

"Mantan, Jan. Jangan lupain itu."

"Oh ya, Algo udah tau kan lo balik kerja?"

Aku menggeleng, "Kenapa? Gue nggak perlu bikin pengumuman kan?"

"Lo yakin?"

Aku mengangguk.

Setelah perpisahan dengan Algo, memang uang bulanan yang diberikan Algo sudah sangat cukup untuk menghidupi aku dan Gama setiap bulan. Tapi, rasanya aku tidak berhak atas uang itu. Jadi, setelah perceraian aku hanya mengandalkan uang tabunganku untuk menghidupi kebutuhanku, sekarang tabunganku menipis. Aku butuh kerja dan menghidupi kebutuhanku semua.

"Di, gue sangat berharap lo bisa bahagia, sangat berharap."

"Makasih, Jan. Isiin ATM gue dengan sering, gue akan bahagia."

"Sialan."

**

Kembali bekerja setelah tidak bekerja selama 4 tahun itu ternyata tidak mudah. Apalagi pekerjaanku selalu harus up to date dengan perkembangan jaman.

Dekorasi event. Entah itu pernikahan, ulang tahun atau apapun yang berhubungan dengan dekorasi.

Meeting dan bisa dealing setelah vacum itu cukup membuatku puas karena aku bisa memberikan yang terbaik.

Aku baru saja selesai meeting dengan client ketika mataku menangkap sosok Algo diujung kafe tersebut menatapku tajam.

Aku tau cepat atau lambat, aku harus memberi tau Algo tentang kembalinya aku bekerja tapi rasanya belum dekat-dekat ini. Aku malas berdebat.

Aku melihat Algo mendekat ke arah mejaku dan duduk di sana seperti meminta penjelasan atas semua yang terjadi. Bagaimana bisa siang hari aku berada di tengah kafe dengan tumpukan beberapa contoh dekorasi yang belum aku bereskan.

"Aku balik kerja." Hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk menjelaskan semuanya. Reaksi Algo sudah tidak usah dipertanyakan wajahnya sudah sangat menyebalkan untukku.

"Kenapa?"

Kenapa? Kenapa dia bilang?

"Uang bulanan yang aku kasih kurang?"

"Sangat cukup untuk Gama."

"Aku kasih untuk kamu dan Gama. Bukan untuk Gama saja."

Aku menghembuskan napas kasar, "Biarin aku mempertahankan harga diriku untuk bekerja dan tidak mengandalkan uang kamu aja bisa?" Ucapku pasrah.

"Kita bicarain ini di rumah."

Algo bangkit berdiri dan meninggalkanku sendiri. Perlahan aku membereskan kertas-kertas yang masih berserakan di atas meja dan menyusulnya. Aku tau harga diri dan gengsi yang Algo miliki itu sangat besar. Aku harus bisa bicara dengan santai tanpa harus melukai harga dirinya itu.

Aku membuka pintu mobil perlahan dan sudah melihat wajah yang sudah tidak bersahabat.

"Maksud kamu apa?"

Algo bahkan tidak menunggu sampai di rumah untuk mengetahui maksud dari ucapanku tadi.

"Aku nggak mau kamu kasih aku uang bulanan, aku mau berdiri sendiri dan mengandalkan diriku, Go. Aku udah bukan tanggung jawab kamu. Kamu nggak perlu merasa aku tanggung jawab kamu." Ucapku pelan, "Kita udah pisah. Tanggung jawab kamu hanya Gama, bukan aku. So, kamu nggak usah membebankan diri kamu sendiri." Ucapku lagi.

Algo hanya diam, aku rasa ia sedang mencerna maksud dari ucapanku. Bukan apa, semenjak ada berita tentang kedekatan Algo dengan selebriti terkenal tanah air, aku baru sadar jika kehidupan kita sudah berjalan masing-masing. Algo berhak menemukan wanita yang bisa membahagiakannya dan aku juga harus melanjutkan hidupku sendiri. Algo sudah tidak harus bertanggung jawab atas aku.

"Aku minta maaf karena nggak bilang dulu sebelumnya sama kamu kalau aku kembali kerja. Gama udah bisa ditinggal sama susternya. Aku juga udah kasih pengertian ke Gama."

"Tapi, aku nggak ngerti kenapa kamu harus kembali bekerja dan ninggalin Gama?"

"Aku harus melanjutkan hidup aku sendiri, Go." Ucapku, "Disaat kamu udah melanjutkan hidup kamu, kenapa aku masih saja di sana? Kamu udah jalan beribu-ribu langkah di depan aku. Udah saatnya aku berjalan lagi kan? Melanjutkan hidupku yang tertunda."

Aku menghembuskan napas lalu melihat ke arah Algo yang masih diam padahal sudah sampai di depan rumah. Tidak ada jawaban, hanya saja Algo langsung membuka kunci dan aku langsung keluar dari mobil.

Gama yang sedang bermain di depan teras langsung berlari menuju ke arahku dan memelukku erat.

"Mama udah pulang?"

Aku hanya mengangguk dan mencium keningnya.

"Papapapapapapa!!!"

Gama langsung berlari menuju papanya dan meninggalkanku begitu saja. Papanya akan selalu menjadi favoritenya karena jika sama papa semua akan dibolehkan, berbeda dengan mamanya akan selalu ngomel, ngomel dan ngomel.

"Papa anterin mama yah?"

"Iyah. Gama udah makan?"

Aku melihat Gama mengangguk antusias, "Biasanya mama ajak Gama makan lagi kalau habis kerja. Papa juga ikut makan kan?"

Aku sudah tidak berencana mendengarkan percakapan kedua laki-laki tersebut, aku berjalan masuk menuju kamarku. Menaruh tas dan membersihkan diri serta hati yang berkecamuk karena hari ini.

Berharap hari esok akan lebih baik. 

Perfect Place #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang