Merasa Indah - Tiara Andini

583 121 16
                                    

Diamanta.

Aku menghembuskan napas kasar, ternyata tidak mudah bekerja ketika sudah memiliki anak di rumah. Pikiran dan waktu harus dibagi dengan benar. Aku heran sekaligus kagum bagaimana para wanita disana bisa menangani ini dengan baik? Aku saja baru Kembali bekerja belum satu bulan, sudah harus mendapat telpon dari sekolah Gama karena ia bertengkar di sekolah. Gama masih TK, bukan Sd atau SMP tapi ia sudah mendapatkan laporan pertengkaran anak kecil.

Aku menggelengkan kepala, bagaimana bisa anakku itu menangisi teman sekolahnya? Jelas itu bukan turunan dari gen yang dimilikiku kan? Bapaknya harus dipertanyakan untuk hal ini.

Aku melihat tumpukan berkas yang harus diselesaikan, bersunggut sedih karena aku harus membiarkan Lea, pengasuh Gama untuk menggantikanku untuk meminta maaf pada ibu orang tua tersebut agar tidak memperpanjang masalah.

"Ngebut banget kerjanya?" Tanya Anjani.

Aku berdecak, "Anak gue mau jadi preman. Gue abis ditelpon sekolah, katanya Gama berantem."

Anjani bertepuk tangan, "Menang nggak?"

Aku melempar pulpen kearahnya, "Ngaco! Gama tuh masih TK. Masa udah berantem?"

"Emosi nggak kenal usia, sist." Jawab Anjani, "Udah cepet kelarin itu selembar sisanya kasih gue aja. Lo pulang abis itu."

"Serius?"

Anjani mengangguk, "Sayang Jani banget.."

"Jijay!!"

Aku tertawa, meskipun Anjani suka menjawabi ucapanku dengan sembarangan, aku tau Anjani selalu baik dan terbaik untukku saat ini. Anjani rela menerima aku Kembali bekerja, aku dibiarkan pulang sekarang dan banyak kemakluman yang ia lakukan untukku. Aku tau, disisi ini keberuntunganku sangat dipakai.

*

Sesampainya di rumah, aku langsung menyerbu masuk dan mencari Gama. Anak itu sedang bermain di ruang tamu. Sekarang, aku harus bertindak hati-hati karena diusianya, aku tidak boleh salah Langkah. Ini akan membangun sifat dan sikapnya ketika dewasa.

Aku dibesarkan di keluarga otoriter, dimana papa selalu memaksakan kehendaknya, menurut papa apa yang menjadi keputusannya adalah yang terbaik untuk anak-anaknya. Jika anak-anaknya tidak berhak memutuskan sesuatu karena kami terlalu kecil untuk memutuskan sesuatu. Aku tersenyum pahit, aku tidak ingin Gama merasakan itu.

Aku ingin mendidik Gama menjadi anak yang percaya diri dan bertanggung jawab. Tidak mudah dan aku tidak boleh salah Langkah.

Aku menarik napas kasar, berbicara dengan toddler sangat membutuhkan tenaga ekstrakan?

"Gama.."

Gama melihat kearahku, wajahnya sudah berubah. Aku yakin, Gama takut karena bertengkar. Ini pertama kali untuknya.

Aku mengelus kepala Gama dengan lembut, mendekapnya. "Gama kenapa?" suara isakan sudah terdengar.

"Gama.." Aku menjauhi Gama sedikit agar bisa melihat wajahnya. Air mata sudah deras dimatanya, tapi ia menahan suara isakannya.

"Nggak apa. Cerita sama mama. Gama kenapa? Kok Gama berantem sama Leon? Kenapa Gama dorong Leon?"

Gama masih menangis, aku Kembali memeluknya. Membiarkan Gama melepaskan emosi yang tertahan di dirinya. Meskipun usia Gama masih balita, aku yakin anak ini bisa merasa sedih, senang, kecewa dan marah. Tidak salah untuk meluapkan, aku tidak akan memaksa dirinya harus kuat atau tidak boleh nangis. Kita semua memiliki kesedihan masing-masing tanpa terpaut oleh usia dan gender. Aku tidak akan pernah mengajarkan anakku untuk tidak menangis hanya karena Gama laki-laki. Laki-laki berhak bersedih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perfect Place #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang