Cerpen - Temaram

10 1 0
                                    


Dia Rio Ferdinand, pria yang kukagumi sedari dulu, sahabat sekaligus orang yang kucintai.

Aku Dea Fitria, gadis remaja 17 tahun yang mencintai sahabat ku sendiri, aku yang membuat batas, dan akulah yang melewati batas itu, _dengar_ , perasaan ini seharusnya tidak ada lalu mengapa aku masih bertahan? Sedangkan aku tau Rio hanya buat Karin, dan tidak akan pernah menjadi milik Dea.

"Deaa,"teriak Rio berlari ke arahku.

Aku tersenyum sambil melambai hangat, begitulah cara kami menjadi sahabat, dia adalah pria pemalu saat pertama kali masuk kelas 10, 2 tahun lebih kami bersahabat dan tibalah kami di bangku kelas 12, tepat setengah tahun aku memiliki rasa ini. Awalnya aku tak mengira akan jadi seperti ini, apapun tentang Rio aku pasti tau, aku selalu menjadi pundak saat dia bersedih, aku selalu menjadi payung saat dia memerlukan diriku, aku tak pernah pergi darinya, begitupun dia. Begitulah caraku mencintai nya, mencintai segala kekurangannya, mencintai caranya berbicara kepadaku walau aku tau hatinya hanya buat Karin.

Rio menatapku dengan mata yang sendu, seperti nya semalam dia tidak tidur, matanya memancarkan rasa bingung. Aku berdiri dan mengusap kepalanya sembari memberi sebotol air mineral.

"Lo ngalong lg kan yo," ucapku dengan nada marah, sudah dibilang tidak boleh begadang kenapa dia sangat keras kepala?.

"Gua kemarin ketemu Karin ya," ucap Rio tak bergeming.

Aku tersenyum, sebenarnya sesak, namun jika aku melarangnya membahas Karin apa dia akan mengerti? . Aku hanya terdiam, sambil menatap nya.

"Kalau emang lu Sesayang itu sama dia, kejar Yo," utasku tersenyum kecut.

"Mencintai emang semudah itu, dan juga dia pasti masih sayang sama Lo, tidak banyak yang beruntung dengan mendapat cinta berbalas," lanjutku mengakhiri kata-kata yang sebenarnya tak ingin ku utarakan.

Rio menatapku, seakan banyak pertanyaan dimatanya, entah lah, apakah dia sadar atau tidak dengan sikapku dan perasaanku kepadanya.

"Tapi gua tau ya, seberusaha apapun gua, dia ga akan pernah jadi milik gua, gua tau betul. Gua pengen ngelupain dia tapi sakit," ucapnya menatapku sekilas lalu kembali menatap langit mendung dimalam hari.

Aku benar-benar tak mengerti, kenapa disaat seperti ini aku tak bisa mendukung nya? Apa karna keegoisan ku untuk selalu ingin memiliki Rio? .

Hari demi hari terlewati, dan sampai saat ini perasaan ku belum berubah bahkan seperti nya tak akan berubah. Rio semakin dekat denganku, terkadang sikapnya kepadaku sedikit berubah, aku merasa sangat di spesial kan dan aku sangat bahagia. Aku ingin mengutarakan nya, tapi aku tak bisa, aku tak ingin kejujuran ku malah menghilangkan nya dari kasatku.

"Dea, besok kan udah kelulusan, gua mau terbang ke Yogyakarta Minggu depan," ucap Rio memakan bakso aci di kantin sekolah.

"Yah lu mah, terus gue gimana?,"ucapku Murung.

"Haha, gua bakal ngabarin lu setiap detik," ucap Rio tertawa pelan sambil mengacak rambut ku. Rasanya kupu-kupu di perut ku benar-benar terbang.

"Karin disana ya," lanjut Rio yang membuat senyum di wajahku perlahan memudar.

Aku kembali tersenyum tipis kepadanya, memberi nya semangat sebisaku walau perasaan ku benar-benar hancur, aku bisa melihat dimatanya masih tersirat kerinduan kepada Karin, aku mengerti, dan aku tak ingin memaksanya melupakan karin, karna aku paham benar bagaimana rasanya memaksa hati untuk melupakan seseorang yang sangat berperan penting bagi kita.

Tibalah dimana Rio berangkat, aku bahkan mengantarnya sampai ke bandara, namun selama perbicangan kami dikantin, kami tak pernah bertemu lagi, aku selalu menghindarinya, selalu mencari alasan tak menemuinya.

"Lu jaga diri baik-baik ya Dea Fitria binti Rio Ferdinand,"canda Rio memelukku.

Aku membalas pelukan itu, air mataku menetes, aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi, jujur saat ini rasanya aku ingin menahannya agar tidak pergi .

"Cengeng banget sahabat gua, gua 4 tahun aja anjir," ucap Rio mengusap wajahku.

"Rio," ucapku parau. Rio tersenyum seolah bertanya ada apa.

"Pernah ga si, sehari aja, Lo ngeliat gue sebagai seorang wanita?," tanyaku padanya.

Rio terlihat kebingungan dan mengalihkan pembicaraan walau sebenarnya ia paham maksudku.

"Yaiyalah lu wanita, yang nganggep Lo pria siapa deaa,".

Aku tersenyum, terdengar panggilan bahwa 15 menit lagi pesawat akan berangkat, Rio harus segera bergegas. Rio memelukku sekali lagi.

"Gua pamit ya, lu jaga diri baik-baik," ucapnya lalu berbalik arah.

"Rioo," teriakku tersedu sembari memberinya sebuah buku Diary.

Aku berlari meninggalkan Rio dengan kebingungan, aku telah selesai, aku telah memberikan kepadanya semua perasaan ku, dia akan tau, aku bahkan telah siap jika ia tak ingin berbicara padaku, tapi aku benar-benar tak bisa menahan perasaan ku. Aku berlari kencang di bawah gerimis-gerimis dari langit mendung, perasaan ku bercampur aduk bagaimana perjalanan Rio nanti dengan cuaca seperti ini? Kepalaku masih memikirkan Rio.

Aku terduduk dibangku taman tempat biasa aku dan Rio menghabiskan waktu, hujan mulai deras membasahi ku, air mataku telah tercampur dengan hujan, kini aku mengerti, mencintai Rio bukan berarti aku harus memiliki nya, mungkin aku hanya setitik cahaya dihidup Rio, tapi aku tak bisa menjadi lampu utamanya. Bagaimana pun kami memiliki batas yang kami buat sendiri, namun aku kalah dengan perasaan ku, aku benar-benar kalah .

Teruntuk kamu, terimakasih telah menjadi seseorang yang kucintai, aku tak akan berharap kau menjadi miliku, bagiku kau terlalu indah untuk menjadi kenyataan, bahkan saat kau benar-benar akan pergi dariku, aku akan selalu menunggumu dengan sabar, karna aku yakin, kamu akan kembali walau dengan batas itu.

Titik SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang