Dua remaja dengan selisih usia enam tahun itu menatap mobil yang keluar dari pekarangan rumah mereka seraya melambaikan tangan.
Roy menoleh menatap adiknya, Abrisam Reynand yang masih belum mengalihkan pandang dari jejak kepergian mobil yang ditumpangi kedua orang tua mereka.
Lagi-lagi begini, ayah mereka harus pergi ke belahan dunia lain untuk mengurus bisnisnya dan ibu mereka akan ikut. Tidak pasti berapa lama mereka pergi, kadang berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan.
"Rey.. ntar malem ikut abang ya?" ajaknya tiba-tiba.
Reynand yang baru berusia sebelas tahun namun tinggi badannya tak jauh berbeda dengan Roy menoleh dengan ekspresi datar. "Kemana?"
Roy tersenyum penuh arti. "Ikut aja udah, lo pasti bakalan suka!"
Rey mengalihkan pandang, nampak menimbang-nimbang tawaran abangnya itu. Pasalnya, ia masih punya beberapa robot yang belum selesai ia rakit, pun masih ada beberapa bahasa pemrograman yang belum ia kuasai dengan penuh.
Rasanya... Ia tidak ingin ikut pergi dengan Roy, semua list dalam daftar kegiatannya jauh lebih menarik.
Tapi kemudian, ia menganggukkan kepala. Sepertinya tidak apa-apa pergi keluar sekali saja untuk melupakan sejenak mengenai orang tuanya yang tidak pernah perduli pada mereka.
"Nah.. gitu, dong!" Roy berseru senang, ia menepuk bahu Rey sebelum berbalik badan dan masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. "Ntar abis isya ya."
Rey tak menyahut, pandangannya membingkai penuh setiap gerakan Roy, mengikutinya, hingga akhirnya cowok itu masuk ke dalam rumah meninggalkan Rey sendirian di teras rumah bergaya eropa modern itu.
Huh...
Helaan nafasnya terdengar berat. Jelas tidak akan ada anak yang mau hidup berjauhan dari orang tua mereka, apapaun alasannya, hal yang sama pun Reynand rasakan.
Meskipun dengan terus bepergian, super sibuk, dan mengembangkan anak perusahaan di berbagai belahan dunia merupakan bentuk kasih sayang orang tuanya kepada dirinya dan Roy, Rey tidak pernah menyukainya.
Ayahnya, Nicholas Damiller, merupakan seorang pebisnis yang terfokus pada bidang produksi senjata, konstruksi, serta hotel dan resort. Sementara ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa –yang lebih sering mengurus suaminya daripada anak-anak serta rumahnya.
Rey masuk ke dalam rumah, tak lupa ia menutup pintu. Tak pergi kemana-mana, ia langsung masuk ke dalam kamar, satu-satunya ruangan dalam rumah ini yang memang benar-benar milik Rey dan yang paling sering ia tempati.
Tapi sebenarnya, bukan kamar itu yang menjadi fokus utama, melainkan sebuah ruangan yang ada di bawahnya.
Rey mendorong sebuah peti berukuran besar –yang kosong– agar bergeser dari tempatnya, begitu benda tersebut berpindah nampaklah sebuah pintu dibawahnya.
Dia mengarahkan kunci ke dalam lubang yang tersedia, pintu itu terbuka ke bawah, menampakkan undakan tangga menurun beserta sorot cahaya berwarna biru.
Rey masuk ke dalam sana, menutup pintu, dan berbagai teknologi yang mengisi laboratorium pribadinya itu menyambut kedatangannya.
Didalam ruangan yang berukuran cukup luas itu terdapat beberapa buah sofa, dua buah meja berukuran sedang, dan satu meja memanjang yang diisi tiga perangkat komputer. Dinding-dindingnya di penuhi rak-rak menempel yang diisi koleksi robot, juga alat-alat canggih lainnya.
Disanalah, Rey merasa kembali pulang.
Semua kegilaannya terhadap teknologi dimulai ketika ia secara iseng memainkan komputer di ruang kerja ayahnya, ya.. saat itu jelas ia dimarahi karena komputer itu memuat data-data yang sangat penting, tapi kemudian, ayahnya memberikannya komputer, tepat di ulang tahunnya yang ke tujuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of De Dickens [DROP]
Teen Fiction[ Prequel of The Bad Boy series ] De Dickens adalah sebuah geng motor, begitulah sekiranya orang-orang mengenal mereka. Tapi layaknya sebagian besar hal-hal dimuka bumi ini yang memiliki banyak sisi, mereka pun begitu. Mereka tak sama dengan yang la...