Darellio Baraja Kean

191 25 0
                                    

Bocah berumur sembilan tahun itu terus bersimpuh di dekat gundukan tanah yang masih basah.

Tatapannya kosong, menyorot pada bunga-bunga yang bertebaran diatas tempat peristirahatan terakhir seseorang yang bernama Halena Dianella.

Tak ada air mata, pun gerakan-gerakan kecil yang mengisyaratkan bahwa hatinya terluka, ia menerima pukulan yang begitu kuat, menghunus tepat pada dasar hatinya.

Membuatnya mati rasa, ia berusaha membuat sakit itu keluar, jujur saja ia sama sekali tidak menahan apapun. Ia siap menangis, berteriak, mengamuk, atau apapun yang bisa menghilangkan sesak yang teramat sangat menyiksanya ini.

Tapi ia tidak bisa.

Tangan kanannya terangkat, mengambil beberapa jumput tanah pemakaman itu. Beginikah akhirnya?

Ia kembali ditinggalkan?

Tapi, kenapa?

Ia telah berusaha menjadi anak yang baik, penurut, tidak meminta begitu banyak hal.

Dia hanya menginginkan satu hal... Ia hanya tidak ingin ditinggalkan, ia tidak ingin sendirian. Apakah permintaannya terlalu besar?

"Ken.." Suara lembut disertai tepukan ringan di bahu membuat bocah itu menoleh.

Bola matanya yang berwarna hitam pekat sama sekali tidak memancarkan binar apapun, kosong, ketika menatap wanita berusia kisaran enam puluh tahun itu.

"It's.. Kean, Momma." Tapi bocah itu tetap mengoreksi kesalahan neneknya dalam mengucapkan namanya.

Wanita pertengahan abad itu menarik lengan cucunya agar berdiri, memeluknya erat sembari tersenyum juga menangis.

Garis-garis penuaan yang membingkai sekitar matanya semakin kentara ketika ia memejamkan mata, menahan cairan yang mendesak keluar.

Ia menunduk, menatap cucunya yang masih melingkarkan kedua tangannya memeluk tubuhnya.

Darellio Baraja Kean. Ia tidak tau kesalahan apa yang diperbuat keluarganya sehingga semua masalah ini menimpa cucunya yang masih berumur sembilan tahun.

Dosa apa yang mereka perbuat?

"Kita pulang ya, Ken, biarkan Mama istirahat dengan tenang."

Bara tanpa sadar tertawa kecil. Hah.. sekarang ia merindukan wanita tua yang selalu salah menyebutkan namanya itu.

Memperhatikan sekeliling, ia menghela nafas. Padahal baru satu bulan neneknya berpulang, ia merasa telah kehilangan sosoknya berpuluh-puluh tahun.

Sempat ia menoleh ke arah jam dinding, sepuluh menit lagi tepat menginjak pukul dua belas malam dan bocah itu masih betah tinggal di kamar mendiang neneknya.

Duduk di atas tempat tidur yang telah dipenuhi album-album foto kedua wanita yang teramat sangat ia cintai.

"I miss you, Mama," lirihnya, tangannya mengusap foto dimana senyum manis ibunya abadi dalam sebuah memori yang telah dicetak. Ia beralih pada foto wanita bermanik abu-abu. "Ken miss you, Momma."

Lonceng jam tiba-tiba memecah keheningan, terdengar nyaring padahal benda itu berada di lantai satu.

Pukul dua belas malam, tepatnya tanggal 10 Juli 2011.

Secret of De Dickens [DROP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang