𝟬𝟱 | 𝗦𝘂𝗱𝘂𝘁 𝗽𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗢𝗱𝗮𝘀𝗮𝗸𝘂

1.3K 161 2
                                    

Meski hidup tidak sesuai dengan apa yang sudah diharapkan, dia masih berusaha bertahan hingga sekarang. Menikmati takdir yang telah direncanakan oleh Tuhan dan membuang semua rencana yang sudah dirinya rancang. Odasaku hidup mengikuti alur yang sedemikian rupa tanpa melawan arus dari ombaknya sendiri, meski berkali-kali di hadang oleh kenyataan pahit setiap saat. Dia tidak pernah mengumpat. Sudah hampir tiga tahun dirinya bergabung bersama Port Mafia atas usulan Dazai—yang—merupakan—sahabatnya.

Kita sebut saja Oda, kata Dazai. Odasaku terlalu kepanjangan untuk dirinya ucapkan. Maka Dazai memutuskan secara sepihak dan Odasaku pun tak menolak.

Musik akhirnya di putar mengisi kekosongan di dalam bar yang masih sepi. Sebuah lagu yang sangat tua tentang kesedihan berpisah dengan keluarga, berkat lagu tersebut Oda merasa kembali ke masa lalu. Oda masih di sini, duduk di depan meja konter dengan sesekali berbicara bersama Bartender yang menyeka gelas di belakang konter.

Tak lama setelah itu dua orang memasuki bar keduanya mengukir senyum saat mereka melihat Oda yang sudah ada di sana. Pria berkacamata meletakkan tasnya di atas meja, sementara seorang remaja yang kira–kira masih SMP duduk di tengah-tengah mereka.

“Maaf kami terlambat,” ucapnya dengan sopan. Pria berkacamata itu namanya Ango seorang informan Port Mafia yang belum lama ini diperkerjakan di sana.

Oda menganggukkan kepala sambil meneguk segelas air putih dingin yang di pesannya. “Kau tidak minum Soju? Aku ingin mencoba itu.”

“Aku ingin tidur cepat.”

“Odasaku–san, tolong katakan kepada Dazai–kun untuk tidak minum–minum. Karena dia masih di bawah umur.” Ango membenarkan kaca matanya dengan jari tengah. “Umur ‘kan hanya angka, Ango. Biarpun begitu aku ini kuat minum, lho.”

“Dazai. Yang dikatakan Ango itu benar, master! Jus tomatnya satu.” Oda memesankan Dazai sementara Dazai memasang wajah super kesal. Tapi tetap dirinya habiskan karena berlanjut dengan obrolan yang ketiganya bicarakan.

Awal mula Oda bergabung bersama Port Mafia adalah atas dasar tujuan membebaskan diri dari kejaran petugas pos lokal. Yang merupakan anggota pasukan khusus yang diberhentikan secara tidak hormat. Ada banyak teori tentang 48 tetapi yang paling populer adalah karena polisi harus merujuk kasus ke jaksa penuntut umum dalam waktu empat puluh delapan jam setelah penangkapan. Mereka terus menyinggung sebuah lukisan kepada Oda yang bersangkutan dengan organisasi sebelumnya. Mereka bersikeras beralibi jika Oda mengetahui letak lukisan tersebut berada, sebab. Oda–lah yang mencurinya.

Saat itu juga Dazai menyarankan sebuah tempat tergelap di Yokohama yang awalnya tak disebutkan namanya. Oda masih mempertimbangkan, mungkin. Saran yang Dazai ucapkan sangat menguntungkan jika Oda pergi ke sana, tidak akan ada lagi organisasi yang mencampuri hidupnya. Orang–orang di sana terikat oleh aturan besi yang dimana—jika salah satu anggotanya di serang oleh orang luar, mereka akan berubah menjadi taring yang mengigit para musuh. Terlebih lagi Oda akan selamanya di buru oleh polisi tersebut, polisi palsu meski begitu mereka dulunya adalah polisi sungguhan.

Tempat gelap itu adalah Port Mafia tempatnya sekarang berada tetapi Oda memilih untuk tetap menjadi anggota terendah. Karena tidak ingin membunuh, Oda hanya ingin hidup menjadi seorang penulis setelah keluar dari sana. Meski harapannya itu masih menjadi angan–angan setidaknya masih ada sejumput harapan yang tertinggal. Juga setelah resmi bergabung Oda pun memperkenalkan tempat ini, sebuah tempat yang saat ini ketiganya singgahi.

Juga setelah resmi bergabung Oda pun memperkenalkan tempat ini, sebuah tempat yang saat ini ketiganya singgahi.

Mereka hanya bisa datang saat malam karena Dazai yang saat itu masih di bawah umur. Ketiganya seringkali bertemu di sini, bahkan hampir setiap hari. Berhubung karena pekerjaan mereka selalu selesai tepat di malam hari dan itu pun tak pasti. Jadi ketiganya memutuskan untuk bertemu di tempat biasa. Walau sudah di peringati untuk tidak minum soju, Dazai tetap kekeh. Dan berakhir tak sanggup menghabiskan padahal baru satu tegukan Dazai sudah di buat mabuk.

Ango menggelengkan kepala dan pamit pulang duluan beberapa menit yang lalu sementara Oda jadi tak punya pilihan selain mengantarkan Dazai pulang sampai ke rumahnya. Oda menoel pipi Dazai menggunakan jari, akan tetapi tidak ada respon sama sekali. Meski hanya minum sedikit tapi bau dari alkoholnya sangat menyengat. Bahkan Oda sampai menutup hidungnya dan kembali membangunkan Dazai. Anak itu benar-benar bebal, dan sulit sekali di beritahu. Kalau sudah begini nyusahin orang lain.

Jadi terpaksa Oda menggendongnya sampai ke rumah malam ini, langit malam terlihat sangat indah karena bertabur dengan bintang–bintang. Sesekali Oda mendongakkan kepala ke atas melihat benda langit yang berkelap–kelip itu. Namun rasa kagumnya jadi teralihkan karena Dazai memuntahkan isi perutnya di bahu Oda. Menjijikkan, Oda sampai menurunkannya tanpa aba–aba. Lantas melepas mantelnya yang terkena muntahan Dazai.

“Tadi ‘kan Ango sudah bilang—kalau kau itu masih di bawah umur. Lihat sendiri kan hasilnya? Anak yang mengatakan dengan bangga kalau dirinya kuat minum malah muntah–muntah begini.” Kata Oda sambil membersihkan mantelnya sementara Dazai duduk di bahu jalan menahan rasa pengar.

“Iya, aku minta maaf. Aku hanya ingin jadi dewasa dengan cepat.”

“Jadi hanya karena itu kau ingin sekali minum soju?!” Pungkas Oda dengan ekspresi wajah yang dingin. “Memangnya itu salah?”

Oda memijat pangkal hidungnya setelah mendengar jawaban Dazai barusan, entah dia yang terlalu polos atau apa. Bahkan sejak pertama kali bertemu dengannya—kesan Oda kepada Dazai itu sedikit berbeda. Oda merasa, kalau Dazai itu adalah “orang bebal alami sejak dini” jadi, mau bagaimana lagi. “Jadi ... masih kuat jalan tidak?”

Sejenak dia tertunduk dalam diam kemudian menatap Oda dengan mata berbinar. Seakan dirinya mengatakan, “gendong aku!” untungnya saja. Oda bukanlah orang yang mudah emosi Oda ini termasuk laki-laki yang tingkat kesabarannya sangat tinggi. Jadi setelah melipat mantelnya ia lalu menggendong Dazai di punggungnya. Hembusan angin malam tidak begitu dingin seperti biasanya mungkin karena malam ini sedang bersahabat. Maka cuacanya tidak begitu ekstrim seperti kemarin-kemarin. Dazai melingkarkan tangannya pada leher Oda sedangkan kepalanya bersandar di bahunya.

“Oda, harapanku masih sama.”

“Tentang apa?”

“Aku ingin mati secepatnya makanya aku selalu mencoba bunuh diri. Tapi, orang-orang disekelilingku selalu menggagalkan semua usahaku.”

Oda tak menjawab untuk sesaat dia masih terdiam jelas itu karena Oda bingung dengan sudut pandang Dazai tentang kematian. Apa anak itu berpikir kalau kematian merupakan jalan keluar untuk melarikan diri dari hidup yang tak sesuai keinginan? Pasalnya, sudut pandang Dazai sedari dulu itu masih tetap sama. Bahkan kali ini lebih sensitif dan menjadi–jadi saja. Jadi bagaimana cara mengatasinya.

“Dazai, kenapa kau ingin sekali mati?”

Benar-benar tak ada jawaban dari pertanyaan  yang baru saja dirinya cetuskan mungkin Dazai ketiduran. Tapi tak lama kemudian terdengar suara tarikan napas sebelum dirinya berujar demikian, “kau belum tahu ya, Oda. Manusia itu sangat takut akan kematian tapi saat bersamaan mereka juga menginginkan kematian.”

— To be continued

Typo, abaikan yaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Typo, abaikan yaa. Ini aku pakai bekas book yang sebelumnya pernah ku published tapi berhubung ideku kala itu bujel. Jadi aku memutuskan untuk menggantinya dengan book baru tentang Dazai, ini, tuh. Pertama kali buat aku tapi aku ngerasa puas aja. Aku juga menggabungkan semua kisah Dazai yang ada di anime sama RL, yaa. Makanya sama, aku kepengen ngerangkum semua segala pemikiran dia tentang kematian. Juga tentang pertanyaan–pertanyaan yang ingin aku ajukan mengenai kehidupan yang aku rasakan.

Dazai Osamu, 17 Oktober 2024

𝗗𝗶𝗮, 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗣𝗮𝗻𝗱𝗮𝗶 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗛𝗶𝗱𝘂𝗽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang