"Selamat siang," sapa wanita cantik berambut hitam legam yang diikat dalam satu kunciran dengan poni tipis yang menutupi dahinya. Kacamata dengan frame silver tipis bertengger di hidung mancungnya. Jas putih khas dokter dan stetoskop yang terkalung dileher melengkapi penampilan wanita itu.
Dr. Ralisa Sp. A ——— tulisan yang tertera pada nametagnya.
"Siang, Dok," jawab ibu muda itu lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja dokter.
"Halo cantik, nama kamu siapa?" tanya Ralisa pada gadis kecil yang datang bersama ibunya. Wajahnya nampak pucat dan lesu.
"Alina," ujarnya malu-malu dengan suara pelan.
"Arina, dok," kata sang Ibu sedikit mengoreksi karena puterinya belum bisa berucap 'r' dengan benar.
"Arina sakit apa?"
"Batuk-batuk, dok. Udah seminggu nggak berhenti juga. Padahal saya udah kasihin obat batuk anak. Napasnya sesak juga katanya," jelas sang ibu.
Ralisa menganggu lalu berdiri. "Arina diperiksa dulu ya, tiduran di ranjang."
Gadis kecil itu mengangguk, masih tak mau melepaskan gandengan tangan pada ibunya. Dengan dibantu sang ibu, Arina tiduran di ranjang sementara Ralisa mencuci tangannya sebelum melakukan pemeriksaan. Mengangkat kaos Arina hingga dada, Ralisa mulai menempelkan diaphragm. Meminta Arina untuk menarik napas panjang, menahannya sejenak, dan menghembuskannya perlahan.
Mereka kembali ke meja begitu Ralisa selesai memeriksa. Tangannya dengan cekatan menulis resep. "Ibu, ini ada reak yang berkumpul di paru-parunya Arina. Makanya dia napasnya sesek. Mungkin karena Arina masih kecil jadi belum bisa benar-benar membuang reaknya saat batuk."
Ibu Arina terlihat syok dan panik mendengar penjelasan Ralisa.
"Tapi ibu nggak perlu khawatir. Hal seperti ini memang sering terjadi biasanya pada anak-anak atau lansia. Ini saya sudah resepkan obat dan jadwal terapi. Satu kali seminggu selama satu bulan untuk membantu mengeluarkan reak yang terjebak di paru-paru Arina."
Ralisa memberikan kertas resep serta rujukan terapi yang sudah ia isi. "Nanti untuk penjadwalan terapinya ditunjukkan sama perawat di depan ya."
"Baik, Dok, terimakasih banyak."
Ralisa menghela napas. Itu tadi pasien terakhirnya untuk siang ini. Melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya sudah menunjukkan hampir pukul satu. Sudah terlewat beberapa menit dari jam istirahat siangnya. Pantas saja dari tadi perut Ralisa sudah meronta kelaparan.
Melepas kacamata, Ralisa beranjak dari kursi. Melepas stetoskop juga jasnya untuk disampirkan pada tiang penggantung.
Pintu ruangan Ralisa berderit membuat kerutan dikeningnya. Apa masih ada pasien lagi? Seingatnya tadi yanh terakhir?
"Ella, bukannya tadi pasien terakh—hir," nada suara Ralisa memelan diiringi dengan rahangnya yang mengeras dan menghilangnya tatapan lembut yang biasa selalu ditebarnya begitu mendapati sosok pria dengan balutan jas putih seperti miliknya menyapa pengelihatannya.
Jayden.
Ralisa masih tak bersuara, tetapi mata tajamnya mengikuti pergerakan pria yang kini melenggang dalam ruangannya seolah itu adalah ruangannya sendiri. Ralisa rasanya ingin berteriak dan menyeret pria itu keluar. Kalau bisa, ia juga ingin menendang Jayden sejauh mungkin dari hidupnya.
Tapi pria itu jelas tidak akan mendengarkannya.
"What are you doing?!" tanya Ralisa sinis saat Jayden malah duduk dipinggir ranjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love to Hate Me
Fanfiction"Brengsek! Gue benci banget sama lo!" "You hate me but not my dick." "Fuck you!" "Fuck me yourself." *** Karena sebuah kesalahan di masa lalu, Ralisa membenci Jayden yang akhirnya membuat Ralisa mengambil sebuah keputusan untuk menghilang dari hidup...