Lembar Keenam

333 62 2
                                    

Hubungan gue, Fiki dan Zweitson sudah benar-benar membaik dan kembali seperti semula. Ngereceh nggak jelas, ketawa-ketawa di kantin sampai jadi pusat perhatian, meledek satu sama lain, itu semua sudah kembali.

Kemarin gue ketemu sama Crystal di halte dan dia bilang kalau hari ini bakalan nunggu gue di taman kayak biasa. Nyaris saja lupa, karena keasyikan kerjain tugas kelompok. Dengan bergitu gue harus pamit duluan sama Zweitson dan Fiki.

“Zwei, Fik, gue duluan, ya. Crystal pasti udah nunggu deh, nggak enak kalau dia sampai nunggu lama.” Gue melihat jam di pergelangan tangan.

“Udah baikan, nih?” tanya Zweitson. Waktu kami baikkan gue langsung cerita sama mereka masalah gue sama Crystal. Dan mereka malah merasa bersalah.

“Kemarin dia di halte, suruh gue datang ke taman hari ini. Mungkin mau ngeresmiin hubungan kita,” ujar gue diselingi tawa. Mereka menoyor pundak sambil ikut ketawa juga.

“Bentar, Aji gue mau nanya sama lo, boleh?”

“Tanya aja kali, Fik.”

“Um, maksud lo selama ini, Crystal ... yang ini?” Bilang yang ini tapi masih otak-atik hp. Tampilan foto Crystal yang sedang memangku kucing tercetak jelas di layar handphone Fiki.

“Iya, dia. Kok lo bisa tahu sih instagram dia? Katanya udah lama nggak aktif.”

“Dia, kan—”

“Udah jam empat, gue cabut dulu ya. Nggak mau Crystal sampai nunggu.”

“Ji, entar dulu!”

“Fik, nanti aja.”

“Tapi, Son, dia harus tahu.”

Gue tetep ngelanjutin langkah sampai ke parkiran. Bodo amat pasti Fiki mau ngerusuh. Atau nggak dia mau ikut ketemu Crystal. Aduh jangan dulu deh buat sekarang ini.

***

Datang-datang Crystal menyambut gue dengan pelukannya. Dia juga minta maaf udah pergi gitu aja seminggu yang lalu. Dan sekarang kita ngobrol santai kayak biasa. Tanpa membahas perkataan gue yang jadiin dia pacar. Kalau dipikir ulang malu juga.

“Kak Aji, di samping Kak Aji ada yang ngikutin. Kayaknya dia suka sama Kak Aji, dari semenjak kita kenal nempel Kak Aji terus.”

“Hah, siapa?”

Jelas gue kaget Crystal bilang kayak gitu. Kesannya itu kayak ada orang nggak kasat mata yang ngikutin dan mau ganggu gue. Ih, kan serem gue langsung ke hantu mikirnya.

“Sekarang dia kedip-kedipin matanya ke Kakak.”

“Jangan nakut-nakutin gitu dong, Tal!”

Crystal malah tersenyum sambil ketawa-ketawa kecil. Aduh manis banget, gula aren aja kalah saing. Jadi pengen ajak berumah tangga. Eh, jangan dulu. Nanti Bang Shandy ngamuk diduluin sama gue.

“Aku seneng loh, Kakak panggil aku Tal.”

“Oh, ya?”

“Walaupun panggilan itu ngingetin aku sama seseorang. Seseorang yang selalu nyalahin dirinya atas semua yang terjadi. Orang yang selalu mengklaim kalau dia yang udah buat aku kayak gini.”

Refleks alis gue bertaut. Kurang mengerti sama perkataan Crystal. Gue mencoba menyerna ucapan Crystal, tapi otak gue nggak bisa nyampe.

“Maksudnya?”

“Bukan apa-apa. Lupain aja.” Crystal berjalan ke arah ayunan, dan gue mengikutinya.

Tiba-tiba aja hp di saku celana getar. Ganggu aja. Awas aja kalau ini Fiki yang ngaku-ngaku gemoy itu. Gue kirim santet juga ke rumahnya. Tapi sayangnya ini bukan Fiki. Ibu.

Shadow | Fajri UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang