Nadia melamun hampir sepanjang hari. Pikiran yang kacau membuat perempuan kelahiran 25 Mei dua puluh lima tahun silam itu kehilangan fokus pada pekerjaan. Beberapa kali Nadia salah dalam meng-input data.
Angka-angka yang tertera pada faktur penjualan terbolak-balik, nama pembeli serta tanggal penjualan tertukar antara yang satu dengan lainnya. Tidak jarang pula dirinya hanya menatap nanar monitor yang menyala terang, seperti dua orang yang beradu pandang.
Tabel-tabel pada program akuntansi seakan menatap Nadia penuh ejekan karena konsentrasi yang tidak juga dapat diraih, padahal mata Nadia sudah terasa sangat perih. Bukan karena beradu pandang dengan layar monitor, tetapi karena sesuatu yang bersembunyi di dalam hati.
Geraman kesal diikuti embusan napas kasar lolos juga pada akhirnya. Tumpukan faktur yang sedari tadi meminta konsentrasi penuh selama proses input guna menyusun laporan penjualan—yang nantinya akan digunakan dalam pelaporan keuangan terpaksa disingkirkan untuk sementara waktu. Himpunan kertas yang dijepit menggunakan clip pada salah satu ujung atasnya diempaskan hingga menabrak layar monitor.
Yulita terperanjat. Perempuan bertubuh gempal itu langsung memutar kepalanya ke arah sumber suara. "Kamu kenapa, Na?"
Yulita yang duduk di sebelah Nadia mendekat dengan menggeser kursi beroda yang dia duduki. Tangannya terulur mengelus pundak Nadia yang melemas dengan mata berair.
Kedua bahu Nadia merosot lesu. Kedua tangannya berada di atas meja berkumpul di depan wajah, menyembunyikan tangis; yang berakhir sia-sia. Percuma saja, sebab satu-dua kali isakan lirih tertahan menyapa gendang telinga Yulita.
Yulita tidak dapat menyembunyikan tatapan prihatin pada sosok ramping di hadapannya. Berulang kali dia membujuk, menenangkan dengan kata-kata. Gerakan tangannya semakin intens mengimbangi goncangan punggung Nadia yang bergetar hebat.
"Na, jangan nangis gini. Ntar kalo ada yang liat, kamu bisa jadi bahan gibah." Yulita memperingatkan. Dia tidak ingin sahabatnya menjadi santapan orang-orang bermulut besar yang selalu lapar akan bahan gunjingan.
Yulita setengah berdiri, mengedarkan pandangan, mengintip dari atas bilik kubikel, menyapu seluruh ruangan dengan matanya selama kurang lebih satu menit. Embusan napas lega lolos dari mulutnya saat mendapati semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Deadline laporan keuangan memang menjadi momok menakutkan sekaligus menguras emosi dan tenaga di setiap akhir bulan.
Beberapa menit berlalu, Nadia kembali menegakkan punggung, menyambar cepat beberapa lembar tisu di ujung meja kerja. Tidak sepatah kata pun keluar, saat matanya bersirobok dengan kedua mata Yulita yang menyiratkan banyak pertanyaan.
Nadia menggeleng lemah seolah berkata bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya dia masih tidak bisa mengontrol emosi. Air mata masih saja jatuh, walaupun dia sudah menghapus jejak basah di pipi berulang kali.
"Tuh, Lida sama Erin kayaknya mau lewat. Nunduk dulu. Telungkup di atas meja biar mereka gak liat mata kamu yang basah!" Jari-jari Yulita masuk di antara helaian rambut belakang Nadia, menekan kepala bagian belakang perempuan itu ke arah meja.
"Aduh! Sakit, Yul!" protes Nadia karena keningnya mencium kasar salah satu klip kecil di atas meja. Nadia memberontak melepaskan kepalanya dari telapak tangan Yulita.
Lida dan Erin menghentikan langkah di depan kubikel Nadia tepat saat Nadia mengaduh kesakitan. Keduanya menengok ke dalam kubikel dan melihat Nadia bersungut-sungut dengan bibir mengerucut.
"Nadia kenapa?" Lida bertanya dengan ekspresi keingintahuan yang besar. Seolah ada tanda tanya besar menyala di atas kepalanya. "Mata kamu bengkak, Na," ujarnya mengacungkan telunjuk ke arah mata Nadia yang sembap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Get a Divorce ✅
Romance👉🏻 Baca selagi on going ya.. karena bakal diunpub setelah cerita ini tamat 👈🏻 Menikah dengan orang yang dicintai, tetapi justru membuat Nadia Prameswari harus menelan pil pahit. Kata 'pisah' seakan begitu mudah terlontar dari mulut Naufal Firman...