Atas saran Yulita, sepulang bekerja Nadia langsung menemui Firman. Sebenarnya dia sempat ragu melakukan itu dan berusaha mengulur waktu, tetapi sahabatnya berhasil meyakinkan. Tidak ada waktu yang lebih tepat daripada saat ini. Semakin cepat, semakin baik, begitu katanya.
"Tumben banget datang gak ngasih kabar dulu." Firman menggiring Nadia memasuki rumah kontrakannya. Selesai mengunci pintu, lelaki itu langsung memeluk erat sang kekasih. Diciuminya ceruk leher perempuan berkulit putih itu. Desah halusnya dengan cepat mengudara.
"Kak, jangan di sini," bisik Nadia mencegah tangan Firman yang sudah menggerayangi dadanya.
"Oke." Firman merangkul Nadia, mengayun langkah menggiring perempuan itu menuju kamar tidur. Hanya berselang 2 menit, mereka sampai di ruangan berukuran 2×3 meter yang dindingnya berlapis triplek tipis. Kipas angin berdiri di sudut ruangan. Benda itu berputar, tetapi tidak cukup untuk menghalau hawa panas. "Kangen aku, ya? Atau ... mau kasih surprise?" Lagi, tangannya bergerilya.
"Maaf, tapi ada sesuatu yang penting yang mau aku bicarakan. Sesuatu yang gak bisa aku tunda karena perlu penyesuaian secepatnya." Nadia melepaskan diri dari kungkungan Firman. Dia duduk di sisi kanan ranjang. Rautnya tegang. Dua kali dia menghela napas, menghimpun kekuatan dan ketegaran yang tidak lebih tebal dari selembar tisu. Dari dalam tasnya perempuan itu mengeluarkan sesuatu dan langsung meletakkannya ke atas nakas. "Aku hamil, Kak," bisiknya.
Sambutan hangat yang Nadia terima mendadak sirna saat itu juga. Firman tertawa sinis. Tatapannya berubah sedingin es. Berharap kalimat yang tadi menyapa gendang telinganya tidak benar, semata sebuah lelucon. Namun, tentu saja tidak lucu jika itu berkaitan dengan sesuatu yang saat ini tengah tertangkap oleh sudut matanya. Sesuatu yang mengingatkannya pada kejadian serupa beberapa tahun silam.
"Kamu serius, Na?" tanya Firman meyakinkan diri, secara refleks mencengkeram kedua bahu Nadia. Lelaki itu membutakan matanya, seolah ringisan perempuan berkemeja biru yang duduk di hadapannya tak kasat mata. Nyaris tidak menampakkan emosi, tetapi suara yang keluar dari tenggorokannya berbeda dengan raut wajahnya yang mengeras. Pun, dengan caranya memperlakukan sang kekasih. Sisi liar lelaki itu menguar, dingin tak tersentuh dan tampak kasar. "Kamu ... lagi main drama aja, kan? Prank yang gak lucu tau, gak, sih, Na?"
Nadia bungkam. Ucapan yang dia lontarkan beberapa menit lalu sudah sangat jelas. Perempuan itu merasa tidak perlu mengulang untuk memberi kepastian. Terlebih lagi, perkataannya didukung dengan bukti yang kuat—tespack dengan dua garis merah terang yang teronggok tak jauh darinya.
Kedua pasang mata manusia dewasa itu bertemu, tidak sungkan untuk beradu. Firman dengan kilat kemarahan, sedangkan Nadia dengan resah keputusasaan. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Tegang. Mendadak hawa dingin menyergap dalam pengap.
Keringat dingin meluncur mulus di balik kemeja Nadia. Celah kecil yang tercipta di bibirnya perlahan terhapus. Mulutnya mengatup rapat. Keinginan berkata-kata hilang tak berbekas. Firman yang saat ini berdiri di depan mata tidak dia kenal. Sosok yang sama, tetapi pribadi yang sama sekali berbeda.
"Kamu sengaja menjebakku?" Tatapan Firman semakin dingin mengintimidasi. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Nadia, membuat kedua hidung nyaris saling sapa.
Nadia menggigil. Saking takutnya, perempuan itu menunduk demi memutus kontak mata.
"Gugurkan kandunganmu! Buang bayi itu, Na! Binasakan dia secepatnya!" perintah Firman sembari menambah kekuatan pada kedua tangan yang mencengkeram bahu Nadia. Suaranya berat dan menusuk.
Aroma tidak sedap dari mulut Firman makin kuat terhidu indra penciuman Nadia. Dia tahu betul itu bau minuman keras. Perempuan yang tengah hamil muda itu mendadak mual, tetapi hasrat ingin muntah tertahan oleh sejuta rasa tidak nyaman yang menyumpal tenggorokan. Tatapan tajam sang kekasih mengacak-acak kinerja organ dalam tubuhnya. Seolah otaknya membeku, tidak bisa berpikir sebagaimana mestinya.
"Gugurkan bayi itu, Na!" hardik Firman sekali lagi.
Cengkeraman yang menguat, menarik seluruh kesadaran Nadia. Tak hanya meringis, dia juga mengaduh. Dengan seluruh keberanian yang tersisa, perempuan berambut hitam itu berusaha menepis kedua tangan sang kekasih sebelum bahunya remuk. Ditambah lagi perutnya yang kembali bergolak, membuatnya sebisa mungkin menahan napas.
"Aku gak mau." Nadia menggeleng. "Karena aku gak bisa."
"Kenapa?" Firman ingat betul, di kehamilan pertama dulu, dia tidak perlu kencang urat leher seperti saat ini. Nadia tidak membantah ketika dirinya memerintahkan perempuan itu menggugurkan kandungan. Dia juga tidak membujuk agar Nadia melakukan itu, semua atas inisiatif sendiri. Setelah kejadian itu pun, kekasihnya itu tidak keberatan saat diminta memakai kontrasepsi. Kekasihnya itu sangat penurut. "Kamu suka kalau aku marah, Na? Mau menantangku, heh?" Napas Firman terengah menahan amarah yang membuncah.
"Cukup sekali aku jadi pembunuh. Dulu, aku terlalu pendek akal. Penyesalan itu gak bisa hilang walaupun sudah berlalu sekian tahun lamanya. Bayang-bayangnya selalu menghantui, membuatku tenggelam oleh rasa bersalah," bantah Nadia berbisik. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perempuan itu mengangkat kepalanya menghadap langit-langit yang juga berbahan triplek tipis, menahan gelombang emosi yang mengobrak-abrik perasaannya. Matanya sudah dipenuhi kaca yang siap bertransformasi menjadi bulir air. Hati semakin rapuh dan berpotensi luluh lantak.
Firman mendesis. "Kalau begitu, kenapa masih bodoh? Aku sudah bilang jauh-jauh hari sama kamu, pakai KB, Na!" hardiknya seraya menegakkan tubuh lalu berbalik. Tarikan kasar pada rambutnya berulang kali dilakukan. Lelaki itu frustrasi menghadapi kenyataan, merutuki kebodohan Nadia.
Lelaki itu mendesis lagi. Satu pertanyaan menggaung di benaknya. Dari sekian banyaknya pilihan kontrasepsi, mengapa tidak satu pun berhasil mencegah keberadaan nyawa yang tidak diharapkan kehadirannya?
Nadia berpaling, tersinggung sekaligus sakit hati mendengar perkataan Firman yang menyalahkannya. "Aku sudah KB. Tiap hari aku minum pil setan itu. Asal Kakak tau, aku juga gak suka berada dalam situasi seperti ini." Tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya termuntahkan. Mata yang tadinya dipenuhi kabut, berubah nanar lalu basah oleh air mata yang berlomba berdesakan keluar membanjiri pipi.
Kamar tidur Firman yang tidak seberapa besar dipenuhi laungan. Lelaki berkulit sawo matang itu meninju udara berkali-kali untuk meluapkan emosi. "Terus kenapa bisa kebobolan?" tanyanya menggeram murka tidak memercayai begitu saja ucapan Nadia.
"Apa yang gak mungkin kalau Tuhan berkehendak? Pil-pil setan itu buatan manusia, kan? Mana mungkin bisa melawan kuasa-Nya!" Intonasi Nadia meninggi mengimbangi tudingan yang digencarkan Firman tanpa menjaga perasaannya.
"Bullshit!"
"Mungkin ini cara Tuhan memberikan kita teguran. Kita sudah terlalu lama berbuat salah dan tersesat dalam setiap pembenaran yang kita ciptakan sendiri," balas Nadia sendu, lirih dan bergetar. Dadanya sangat sesak.
"Gak usah bawa-bawa nama Tuhan! Ini semua terjadi semata karena kedunguan kamu! Pasti ada yang salah. Kamu aja yang gak becus menjaga diri!" hardik Firman.
"Di dunia ini gak ada yang sempurna, Kak. Ciptaan Tuhan aja masih ada aja yang menyebutnya cacat, apalagi buatan pabrik yang berada di bawah kontrol manusia biasa." Nadia terisak. Kemarahan bergulung-gulung di dadanya. Kesal, sedih dan kecewa, hingga hatinya mati rasa, tidak mengerti perasaan apa yang dominan membuatnya nyaris tidak bisa bernapas.
"Kamu terlalu banyak alasan!" Firman menggeram. Di saat seperti ini Nadia masih berani membantahnya.
"Mungkin Tuhan mau menunjukkan kalau yang selama ini kita lakukan salah. Dia bosan melihat kita mengulangi kesalahan demi kesalahan. Kita tau berzina itu dosa, tapi kita terus mengulanginya seolah itu lumrah."
"Omong kosong semua itu!"
"Terserah Kakak mau ngomong apa, aku terima semuanya." Nadia menghela napas. "Tapi, bukan berarti aku mau menuruti kemauan Kakak. Aku gak akan menggugurkan kandunganku. Dia gak bersalah," ucapnya getir dan kecewa.
"Berengsek!" Entah pada siapa umpatan itu ditujukan. Firman memilih melampiaskan kemarahan dengan menghambur seisi kamar karena upaya yang dia lakukan sebelumnya tidak juga mampu menghapus semua suara yang memenuhi kepalanya.
Berselang beberapa menit kemudian, debam pintu kamar terdengar nyaring. Lelaki itu memilih meninggalkan Nadia yang tergugu meremas kemeja yang menutupi perutnya.
Kenapa kamu harus hadir di saat seperti ini, Nak? Nadia meratap pilu. Hatinya hancur.
.
.
.
Samarinda, 05 September 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Get a Divorce ✅
Любовные романы👉🏻 Baca selagi on going ya.. karena bakal diunpub setelah cerita ini tamat 👈🏻 Menikah dengan orang yang dicintai, tetapi justru membuat Nadia Prameswari harus menelan pil pahit. Kata 'pisah' seakan begitu mudah terlontar dari mulut Naufal Firman...