Chapter 1

107 16 0
                                    

Ten tidak menyangka bahwa ia akan berada di posisi seperti saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ten tidak menyangka bahwa ia akan berada di posisi seperti saat ini.

Berdiri di depan pintu apartemen yang pemiliknya entah ke mana.

Dengan tubuh gemetar, Ten yang berperawakan mungil menggosok-gosok tangannya, mencari kehangatan.

Tok tok!

Ten mengetuk pintu itu sekali lagi, berharap ada yang membukakannya.

Melihat ke sekeliling, suasana di sekeliling gedung apartemen benar-benar sunyi, matahari yang telah terbenam beberapa jam lalu mengundang asumsi-asumsi buruk yang senantiasa berputar di pikiran Ten.

"Tolong bukakan pintunya.." 

Ten berkata lirih dan sedikit menggedor pintu kayu di depannya.

"Maafkan aku.. 

Tolong bukakan pintunya.." 

Ucapnya sekali lagi, kini dengan air yang mengalir perlahan dari kedua matanya.

Namun, sudah jelas jawaban yang didapatkannya.

Diam.

Diam merupakan aksi yang paling dibenci Ten dari orang yang sedang ditunggunya.

Diam merupakan sumber murka Ten pada orang itu.

Diam merupakan senjata terbesar dan terkuat bagi Johnny.

Ada saat di mana diam itu emas dan ada saat di mana diam itu pertanda tak peduli.

Juga ada saat di mana diam itu disalahartikan.

Johnny dan Ten telah menjalin hubungan tiga tahun lamanya, dimulai sejak mereka duduk di bangku perkuliahan.

Tidak pernah ada yang menduga kalau Ten yang pribadinya suka dipandang sebelah mata oleh para penghuni kampus akan diminati oleh seorang Johnny, si pendiam peraih IPK 4.0.

Ten juga tidak pernah menduga bahwa seorang Johnny akan hadir di hidupnya dan menerima seluruh masa lalunya yang tergolong rumit nan pahit, serta menimbulkan trauma mendalam pada diri Ten.

"Aku yang akan menemanimu menapaki masa depan. Kenapa kamu malah fokus melihat ke belakang?" 

Ungkap Johnny di hari keduanya resmi berpacaran dan Ten tidak pernah merasa dicintai sebesar itu oleh orang lain.

Selama 5 tahun, Johnny tidak hadir dalam hidup Ten hanya sebagai pemanis, tapi juga sebagai doa pelipur lara.

Kehadiran Johnny menjadi titik awal perubahan hidup Ten.

Yang awalnya hanya takut terapi, kini mulai mencoba.

Yang awalnya selalu menghindar, kini mulai mengampuni dan menerima.

Ten memberanikan diri untuk mendatangi psikolog demi kesembuhan traumanya.

Setiap pertemuan dan setiap evaluasi, Johnny akan selalu hadir di sampingnya, menggenggam tangannya ketika dia merasa takut.

Ya.

Dengan Johnny, dia merasa mampu.

"Lihat itu! Dia yang lahir dan hidup dari abusive family, masih punya nyali untuk memacari mahasiswa terbaik kampus kita! Huh, mendingan dia—"

Ten tidak bisa mendengar kelanjutan omongan teman seangkatannya.

Bukan karena dia tidak mau, melainkan karena sepasang telinga telah ditutup oleh sepasang tangan jumbo dari orang favoritnya.

"Jo.." 

Ten meraih kedua tangan besar itu dengan lembut dan mengecupnya.

"Padahal aku mau dengar kelanjutannya."

Tangan besar itu beralih menjamah pipi tembam si mungil.

"Dan membiarkanmu menangis malam ini? No, thank you."

Keduanya lalu bertatapan satu sama lain.

Seperti bintang menatap langitnya.

Seperti galaksi menatap semestanya. 

Say SomethingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang