Desember kesayanganmu beku dan apatis terhadapku dan bapak surya yang terlihat bahagia hari ini, pematang jalan berpori kasar meruap gersang setiap telapak kaki menghentak tangguh dengan pikiran yang tersumpal, pohon angsana letih dengan kerutan usia disekujur tubuhnya tengah membacakan dongeng untuk anak dan cucunya yang terus bermalas-malasan.
Syal bercorak larik horizontal sewarna bulu kuda yang katanya kamu rajut sendiri saat malam perayaan musim panas hampir saja melarikan diri dari leherku saat tanganku yang isinya tinggal tulang sebab hanya makan makanan instan supermarket ini mendorong sekat persegi yang berbahan dasar kaca, helai suraiku yang tidak keramas selama tiga hari malah asyik bermain-main dengan angin yang terus berusaha menggodanya. “Dua éclair dan secangkir sazerac.” Seorang wanita yang sepertinya berusia akhir dua puluh tersenyum anteng sebelum melantingkan perkataan dibubuhi tanda tanya. “Apakah anda ingin memesan sesuatu lagi, Nona?”
Kepalaku yang terasa memberat dikomando untuk menggeleng tangkas, tidak ada segaris harsa manis yang memoles wajah yang sudah terlanjur diremat oleh urusan kantor ini. Astaga, bola mataku yang kaku terpapar pendingin ruangan jadi berkedut samar karena manifestasi pribadi dengan perona bibir merah bata khas nenek-nenek peyot juga riasan ricuh nan padat disekitar matanya. Jangan perbincangkan tentang lapisan fiber yang melekap angkuh di tubuh kurusnya, terlampau mencolok untuk ukuran bocah tengil yang baru lulus sekolah menengah atas. Dan bibirnya yang terjumput keatas itu sama sekali tidak dapat mengurangi sedikit gelenyar pening yang membidas kepala dengan rambut sialan yang mudah rontok ini.
Lihat, aku berhasil menepati janjiku, Kak. Kamu berkata menginginkan éclair hangat yang masih mengepul tipis tadi pagi-pagi sekali saat mentari baru hendak bertegur sapa dengan mega dan sekarang jari-jemariku yang memerah karena lupa memakai kaos tangan tengah bercengkrama dengan kantong plastik berisikan kue dengan lapisan gula yang legit. Aku juga bersedia menganggukan kepala dan menuruti amanatmu untuk memakai syal lawas yang sudah sedikit kumal kebanggaanmu, apa kamu senang? Seharusnya sih begitu, jangan sampai kamu kembali bersikap cuai dengan netra sipit yang tambah dipungut ketepi yang jadi terlihat seperti garis lurus hasil karya spidol hitam milik adikku.
Jangan terus bercumbu rayu dengan jendelaku yang sudah meriang karena selalu kamu hidangkan pada angin bengis tak berperasaan, Yoon. Jikalau dia bisa berbicara, sudah pasti dirimu dapat hadiah berupa banjuran aksara-aksara beringas yang mungkin saja dapat mengerat sanubarimu hingga memerah dan perih. Aku yakin, dia sudah melampaui ambang jenuh untuk terus melakukan konversasi tak berbobot yang terkadang didominasi oleh keluh kesahmu yang berhasil memperkeruh hawa kalbumu laiknya limbah pabrik yang mencemari parit warga desa.
“satu pesanan éclair setengah dingin dengan ekstra kasih sayang sudah datang tuan, silahkan dinikmati.” Aku mengakhiri sapaanku pada pintu arkais yang catnya sudah mengelupas di beberapa sisi, lantas menanggalkan bebatan kain hangat dengan pori besar seperti wajah Taehyung kalau tidak dirawat rutin selama seminggu sembari membuai kantong plastik yang hanya bisa membatin jengkel dan mendengkus.
“Letakkan disitu saja, akan saya santap jikalau hati saya yang tengah dongkol ini mau berbaikan dengan pikiran kusut saya.” Kamu menjawab hirau dengan lafaz serata lembaran kertas diatas mejaku yang saling beradu argumentasi tentang siapa yang akan dibelai dahulu oleh jari-jemari cekingku.
“Kenapa tidak menatapku saat berbicara? Wajahmu habis terkena luka bakar yang serius ya?” kelakarku jenaka dengan gelak yang sengaja kubuat-buat dengan sedikit pemaksaan, semoga kamu tidak terlalu menyadarinya mengingat saat ini dirimu tengah menyusun sepasang lengan pucatmu untuk tertumpu rapi dirangka jendela sewarna sorot kilap mobil yang berhasil menikam sepasang netra hingga menyipit pedih. Kepalamu yang sepertinya terlihat berat sebelah karena terus meneleng tersebut akhirnya menyerahkan diri dan berotasi menghadapku, aku sedikit terkejut sebab paras rupawanmu yang terkadang menyerupai buntalan pangsit kukus itu terlihat direcoki rona semerah jambu biji. Tapi hal yang paling tragis, kamu tidak berniat merespon sekelumit kuriositas yang sebenarnya tidak benar benar mengetuk pintu dan bersambang pada pikiranku.
Permukaan jangatmu terlihat tandus dengan komedo yang bersemayam di hidung mungilmu, mereka enggan pergi sampai kamu mencubitnya satu satu seperti seminggu yang lalu, bulu mata pekat yang tengah menunjukkan eksistensi tampak seperti dimasukkan kedalam lemari pendingin selama tiga bulan, pun ranum milikmu yang memutuskan untuk menambah kelukur dan mengubahnya menjadi pucat. “Kalau kamu merasa seperti diawetkan, segera ucapkan salam perpisahan pada kekasih hatimu itu dan bergegaslah ke kamar,” ujarku lunak berniat membujuk dirimu dengan iris yang berangsur menepi sembari kekeh jahil menetas dari bilah labium.
Aku tidak yakin, apakah ini kembar netraku yang sudah mencapai garis letih sehingga hendak mengangkat kedua tangan ataukah dirimu yang tiba-tiba dihibahkan mukjizat oleh Tuhan saking pemurahnya, sebab dapat kutangkap mata sipitmu yang terseret kesudut dan cekungan tipis dari bibir rapatmu semolek lunar sabit di malam pergantian tahun.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rumahku Membelai Kalbumu
Fanfiction𝓼𝓮𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓷𝓪 𝓪𝓻𝓾𝓷𝓲𝓴𝓪 𝓹𝓪𝓭𝓶𝓪𝓻𝓲𝓷𝓲 𝓮𝓵𝓮𝓰𝓲 𝓷𝓮𝓼𝓽𝓪𝓹𝓪 𝓼𝔀𝓪𝓼𝓽𝓪𝓶𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓲𝓶𝓯𝓸𝓷𝓲 𝓲𝓷𝓭𝓾𝓻𝓪𝓼𝓶𝓲