BAB 1 - Maharani

353 41 2
                                    

"Maaf ... tapi aku tidak bisa menolak keputusan keluarga."

Suara tegas yang menyayat lewat lantunan kalimat singkat, keluar dari bibir tebal berkumis tipis laki-laki di sebelahnya. Tidak sulit bagi Rani untuk menebak kalimat selanjutnya, raut wajah Pandu yang masam sudah berbicara banyak.

"Keluargaku minta pernikahan kita ... dibatalkan."

Kemungkinan ini pernah menjadi yang paling menakutkan dalam hidup Rani, dan malam ini—, ia dipaksa menghadapi ketakutan terbesarnya sendiri.

Dada Rani sesak, nafasnya tercekat tertahan di tenggorokan setelah mendengar keputusan sepihak yang diambil Pandu dan keluarganya. Angan-angan pernikahan sederhana yang ada di kepala Rani menguap, berganti bayangan derita yang menyiksa perlahan.

Hubungan enam bulan yang mereka lewati pupus dalam waktu yang singkat, Rani baru saja memupuk harap—, namun hatinya justru kembali dipatahkan dengan cara yang jauh lebih kejam.

"Keputusan ini di luar kendaliku, Ran, semua keluargaku sepakat untuk tidak melanjutkan pernikahan," tambah Pandu menegaskan—, bahwa apa yang terjadi di depan sudah ditetapkan.

Maharani tak langsung menanggapi kalimat Pandu—, calon suaminya yang tiba-tiba meminta temu satu minggu sebelum hari pernikahan. Pandu mengirim pesan bahwa ia akan menjemput Rani malam ini, sepulang shift sore.

Senyum tak lepas dari wajah Rani sejak fajar menyingsing, namun kebahagiaan itu pudar kala malam datang.

"Aku nggak tahu Mama dapat informasi itu dari siapa, tapi yang jelas, Mama mengatakan kalau—."

"Apa yang Bu Nawang dengar itu—, benar," sahut Rani menjeda kalimat calon suaminya. Setelah berhasil mengatasi kemelut dalam diri, Rani mencoba menghadapi masalah ini dengan kepala tegak. Getar suaranya tersamarkan riuh hujan yang mengguyur kota Jakarta. "Aku memang bukan anak kandung Bu Hanum."

Laki-laki di sampingnya terpaku lama, dahinya mengerut, bibirnya membulat mendengar pembenaran desas-desus yang terjadi di sekitar. Selama ini, Pandu tak pernah menggubris kabar yang selalu menyudutkan calon istrinya, namun malam ini Rani sendiri yang justru membenarkan.

"Atau lebih tepatnya—, aku adalah anak haram Pak Dharma."

Dalam satu tarikan nafas, Rani mengakhiri tuturan kata yang setiap penggalnya bak menabur duri. Rani mengucap kalimat itu tanpa air mata, hanya seperti bercerita kisah biasa. Rasa sakit sudah menjadi hal lumrah dalam hidup Rani, bukan tidak mungkin hatinya berubah kebas.

"Aku yang seharusnya minta maaf sama Mas Pandu dan keluarga, karena selama ini tidak jujur." Detik itu juga, Rani mulai goyah. Senyum yang tersirat di wajahnya terkesan dibuat-buat, getir di kedua sudut bibir menunjukan betapa kuat usaha wanita itu menahan tangis. "Maaf ..." ucapnya lagi.

Hidup sebagai Maharani, ia membawa beban berat dipundak seorang diri sejak lahir. Rani hidup dengan warisan dosa dari orangtuanya. Rani selalu menjadi anak yang tersisih, kedatangan Pandu ke dalam hidupnya menaruh harapan yang besar, ia ingin memiliki dan merasa dimiliki setelah sekian lama tidak ada yang peduli.

Pandu memukul setir mobil dengan lengan hingga menimbulkan suara hantaman yang cukup keras, kemarahan yang muncul entah ditujukan pada siapa. "Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Raaan?" tanya Pandu meninggikan suara di bagian akhir.

Ketakutan mulai menjalar lewat sendi-sendi di sekujur tubuh Rani, sosok yang sebelumnya hangat kini berubah dingin dan asing. Tatapan sinis Pandu, nada tinggi yang tidak pernah laki-laki itu tunjukan sebelumnya adalah mimpi buruk yang berubah menjadi nyata.

"Orangtuaku terpandang, keluargaku terhormat, Ran. Keluarga kami sangat menjunjung adab, dan ... yaa Tuhaaan, Raniii. Nggak mungkin aku nikah sama ... haaash!" Pandu meluapkan rasa kesal.

Love me laterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang