.
Aku melihatnya—jelas sekali.
Di antara lautan manusia yang mengerubungi, ia tetap yang paling mencolok bagiku.
Dengan baju berwarna soft-purple yang bagian atasnya hanya melindungi bahu sehingga lengan tidak terlindungi, dipadu dengan sebuah rok biru sepanjang lutut dan kaki yang ditutupi stocking berwarna gelap, ia tampak begitu memesona. Rambutnya yang tergelung ke atas, memperlihatkan dengan jelas pundak dan leher jenjangnya yang dihias sebuah kalung sederhana, benar-benar membuatku terhipnotis.
Hanya dia dan dia yang terus memaksa kedua netraku untuk patuh mengikuti setiap pergerakannya.
Lalu … senyum yang kurindukan terpampang di wajah Hime-ku.
Saat itu, bukan aku yang menjadi objek senyumnya.
Aku geram, aku tidak terima. Aku ingin merebutnya, membuatnya jadi milikku sendiri.
Tapi … apakah itu keputusan yang baik?
Padahal, aku sendiri yang memilih jarak ini.
Karena, bagaimanapun, kami….
.
.DEAREST HIME
Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto
By Himehime90
I don't gain any commercial advantage by publishing this fanfic. This exactly is just for fun.
Warning: rate M for the theme—kinda incest. Probably rush and a bit OOC. Also, just imagine that Kakashi doesn't wear his mask. XD
Double POV—Kakashi's POV and third person's POV.
KakaHina —slight NaruIno
.
."Kakashi-jisan."
Aku menoleh ke arah sumber suara yang ada di sebelah kiriku. Bukan, bukan Hime yang memanggil.
Yang memanggilku barusan adalah pemilik rambut panjang dengan poni yang sedikit menutupi mata kanannya. Meski biasanya rambut itu diikat ponytail, tapi rambut pirang yang dibiarkan tergerai dan hanya dijepit di sisi-sisi dekat telinga—memperlihatkan anting mutiara yang berwarna putih—tidak lantas membuatku tidak mengenalinya. Yamanaka Ino—sahabat Hime.
Ino menatapku dengan mata aquamarine-nya yang besar. Sebuah senyum terpampang di wajahnya.
"Apa yang sedang Jisan pikirkan?" tanyanya seolah ia dapat membaca pikiranku. Dari dulu, anak ini memang mempunyai kepekaan yang cukup tinggi. Jadi, aku tidak begitu terkejut mendengar pernyataan itu terlontar dari mulutnya.
Selain itu, bukan tidak mungkin Hime pernah menceritakan sesuatu padanya. Mereka benar-benar sahabat baik—itu yang pernah kudengar langsung dari mulut Hime.
"Hm … menurutmu?" jawabku sambil memicingkan mata dan memaksa sebuah senyum. Bersamaan dengan itu, kedua tanganku mulai merayap ke arah saku celana.
Ino tidak menjawab kala itu. Ia lebih memilih untuk menoleh ke satu arah. Di ujung pandangan Ino, bisa kulihat seorang gadis berambut indigo tengah berbicara dengan pria dan wanita paruh baya—Hime bersama kedua orang tuanya. Entah apa yang mereka bicarakan, dari tempatku berdiri, tidak sedikit pun aku bisa mendengar pembicaraan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Hime
RomanceSaat aku sudah menarik batas yang benar-benar nyata di antara kami, saat itulah aku sadar bahwa aku tidak bisa merelakannya untuk orang lain. Aku tahu resikonya, tapi aku ... tidak bisa berhenti menginginkannya. Dan perasaan itu semakin menggebu sa...