Chapter 1. Pelindung

137 21 5
                                    


- ✨


Namanya Bagas Natha Wistara, laki-laki berusia tujuh belas tahun yang saat ini berada di bangku kelas tiga sekolah menengah atas di Jakarta. Bagas atau yang sering dipanggil Agas ini sangat menyukai namanya, Bunda membuat nama yang diharapkan menjadi do'a untuknya, dan Agas cukup percaya diri bahwa arti dari setiap namanya telah menjadi do'a dan bagaimana ia hidup selama ini. 

Bunda pernah bilang, arti namanya adalah seorang pelindung yang kuat, teguh, dan pandai. Dari nama itu Bunda berharap supaya Agas bisa melindungi dirinya, hidupnya dan orang-orang terkasihnya dengan baik. 

"Lo sayang dong sama gue gas?" Biya bertanya pada saat mereka mengobrol perihal nama Agas, sedikit membuat tubuh Agas membeku sebelum kembali santai dan tertawa. 

"Kenapa emang?" Agas merubah posisinya yang semula tertidur menjadi duduk menghadap Biya yang bersandar pada kasurnya. 

"Ya lo kan bawel banget sama gue? 'Bi jangan ini ya, bi jangan itu ya, bi kalau ada apa-apa bilang' gitu muluu," Biya berujar dengan semangat, lalu terkekeh selagi rambut di atas kepalanya diacak oleh tangan besar Agas. 

"Tangan gua sekarang udah bisa megang seluruh bagian atas kepala lo, dulu, gua sama kecilnya sama lo, tapi lo berenti nangis kalau gua peluk. Menurut lo, kita hidup bareng-bareng dari kecil nggak bakalan bikin gua sayang sama lo, apa hah?" Biya tertawa renyah mendengarnya, senyumnya masih sama cantik, dan yang melihatnya masih sama menikmati apa yang dilihatnya setelah bertahun-tahun menikmati dalam diam. 

"Iya iya gue kan juga sering bilang kalau gue sayang sama lo, gausah ngambekan gitu deh, jelek." Biya memeluk Agas sekilas lalu kembali mengobrol ini itu dan menghabiskan malam mereka di kamar Agas. 

"Bagas, Biya, bangun!" Bunda berteriak dari luar kamar, sudah lima menit berdiri di sana dan tak ada satupun yang menjawab, pintu sudah diketok berkali-kali juga tak ada jawaban. Jarum jam terus berputar dan Bunda sudah tidak sabaran hingga akhirnya ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. 

Bunda terkekeh dengan apa yang dilihat kedua matanya saat ini, kaki bertemu kepala dan kepala bertemu kaki, Bunda selalu terheran dengan posisi tidur keduanya yang aneh, berkali-kali Bunda mendapati kedua anak lelaki yang terpaut umur beberapa bulan itu tidur bersama dengan kondisi kasur yang kacau. Biya yang pertama kali bangun, lalu memeluk Bunda yang rasanya sudah menjadi Bundanya juga. 

"Pagi bunda, aduh Biya ke rumah dulu ya bun, gabawa baju." 

"Hati-hati nak, cuci muka dulu biar melek," 

Biya menurutinya, karena matanya yang sipit memang kesulitan untuk terbuka karena sisa-sisa begadang akibat Agas yang ingin bermain games terus menerus. Sambil mengumpati Agas dalam hati, Biya sampai salah membasuh wajahnya, niat hati membasuh dengan sabun muka milik Agas, justru malah odol mint yang tentunya membuat wajahnya panas dan matanya perih. 

Agas terbangun dengan cepat ketika mendengar teriakan Biya dari kamar mandi, Bunda yang melihat bagaimana Agas langsung menghampiri Biya pun hanya mendengus dan tertawa. 

"Alarmnya mesti pake Biya aja ini sih," Ujar Bunda sebelum kembali menutup pintu kamar anak sulungnya itu. 

"Ya lo kenapa gak sadar kalau itu odol sih? Kan beda jauh bentuk odol sama sabun muka gua, dodol." Bibir yang berisi itu semakin dibuat maju lebih dari satu sentimeter, Agas tidak bisa berhenti mengomel meski saat ini Biya sudah pulang ke rumah dan berganti pakaian dengan seragam SMA nya. 

"Bawel lo, udah siap belum? Ayo berangkat ih," Biya berteriak dari jendela kamarnya, memperhatikan Agas yang sedang membuka seluruh laci yang ada di kamarnya dari balik jendela kamar. 

we will always go home ; KookmimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang