Perlahan matanya terbuka, ruangan bernuansa putih serta orang dengan jas putih menyapa Za dengan ramah. “sudah sadar?”. Za yang masih pusing hanya bisa diam saja. Kedua orang tua dan Abangnya nampak khawatir melewati pintu coklat itu.
Mereka menghampiri Za yang terbaring lemah di ranjang, banyak pertanyaan yang mereka lontarkan. Tapi, Za hanya diam jiwanya kosong dan akhirnya ia berteriak sekuat-kuatnya lalu menangis.
Bunda yang melihat keadaan Za hanya bisa menangis dipelukan Ayah, kedua Abang Za memegangi kaki dan juga tangan Za, kemudian dokter menyuntikkan cairan penenang. Berangsur-angsur kesadaran Za pun mulai menghilang, ia menutup mata ketika cairan itu muai menjalar ke tubuhnya.
Sejak hari itu, Za mengurung diri di kamar. Ia tak berbicara sepatah katapun, hanya menangis dan menangis sepanjang hari, ketika lelah ia pun tertidur.
Tubuhnya semakin kurus kering, pola makan tak teratur, bahkan matahari pun tak pernah menembus gelapnya kamar bernuansa purple itu.
Sejak hari itu pula atma hancur berkeping-keping. Za menyesal dengan segala yang telah ia lakukan. Za tidak sanggup mengatakan apa yang terjadi pada Keluarganya terutama pada Bunda.
Bagaimana kecewanya Bunda jika anak perempuan semata wayangnya tak lagi memiliki harga diri, begitu kotornya diri ini ya Allah.
yang bisa ia lakukan hanyalah menyesalinya dan tidak tau harus berbuat apa. Za terlalu takut semuanya meninggalkan ia sendiri, takut mereka membenci atas semua luka paling berbekas pada diri.
Setiap hari, Abang Yusuf dan Abang Al bergantian menjengunya di kamar, mengajaknya ngobrol, menyuapi, dan sekedar menanyakan bagaimana kabarnya.
Za seperti manekin bernafas, diam dengan pandangan kosong tetapi hidup.
Tak ada satu orang pun yang bisa membuatnya mengeluarkan sepatah kata.Walaupun mereka tidak menyerah, tapi Za tau mereka lelah. Namun, Za seolah menutup mata dan telinga.
Sebenarnya Za pun sama, lelah dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepala, bisikan bunuh diri pun selalu tergiang di telinga. Jika tak tahan dengan bisikan itu, ia berteriak kesetanan menjerit-jerit tidak karuan sambil memukul-mukul kepala ke tembok sampai memar.
Salah satu saudaranya pun sampai menyarankan Bunda untuk memasukkan Za ke Rumah Sakit Jiwa, melihat kondisinya yang semakin memprihatinkan. Bukan karena mereka tidak mau mengurus Za, tapi mereka takut ia berbuat hal-hal yang nekat dan semakin tak terkendali.
Seperti 2 hari yang lalu, Za mencoba menggores pergelangan tangannya dengan gelas yang sengaja dipecahkan. Tapi aksi heroiknya itu terhenti karena Abang Al yang masuk ke kamar dengan membawa nampan ditangannya, melihat adik bungsunya tengah memegang pecahan gelas itu dengan cepat ia menepis tangan Za yang tengah memegang pecahan gelas tersebut.
Nampan telah jatuh berserakan di lantai, sampai membuat suara yang cukup keras menggema di kamarku.
"kamu apa-apaan sih dek, sadar dong. Abang sayang kamu dek, kenapa kamu mau lakuin ini semua” Kata-katanya sangat nyaring memenuhi ruangan, raut wajah khawatir tercetak jelas, pelukannya bergetar menandakan ia benar-benar takut kehilangan adik satu-satunya itu.
Ayah, Bunda dan Abang Yusuf juga telah berkumpul di dalam kamar Za. Mereka melihat semua kekacauan yang terjadi, sebuah kekacauan yang telah dilakukan oleh gadis mungil yang terlihat sangat ringkih.
Makanan berserakan, pergelangan tangan yang sedikit tergores, dan Abang Al yang masih saja memelukku dengan sedikit terisak.
“Ada apa ini Al?” suara bariton Ayah masuk ke gendang telinga Za, suara seseorang yang sudah ia kecewakan. Kembali hatinya teriris, tapi rasanya air mata tak lagi bisa keluar. Ia telah mati rasa atas kejadian kala itu.
Akhirnya Abang Al melepaskan pelukan yang membuat Za mulai sesak nafas karena di peluk dengan begitu eratnya.
Bunda memekik kaget melihat tangan Za mengeluarkan sedikit darah segar. Ia langsung beralih ke tangan putrinya melihat luka yang memang sengaja dibuat.Za melihat wajah berumur yang Bunda miliki, terlihat lelah. Tangannya terulur menghapus air mata Bunda dan mengucapkan sepatah kata yang tidak pernah keluar dua bulan belakangan ini.
“Bunda, Za capek” kata pertama yang keluar dari mulutnya semenjak ia memutuskan menjadi sebuah manekin hidup.
Sontak semua mata tertuju pada Za, ada raut bahagia disana.Wajah ayah tersenyum begitu juga dengan kedua Abangnya.
“kenapa Nak? Apa yang sakit? Bilang sama Bunda.” Bunda memegang tangan Za begitu erat, mencoba memberikan kekuatan agar ia mau bercerita.Za menunjuk dada sebelah kiriku yang terasa sesak, sakit hati yang ku tahan selama ini “Disini Bunda.”
Bunda menarik tubuhnya dan memeluk Za, mengusap punggungnya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Za pun membalas pelukannya, pelukan hangat yang sangat ia rindukan.
Ayah menghampiriku dan mengelus rambutku. “ceritalah Nak, ada apa? Kami akan selalu ada disini.” Ayah kembali berusaha menanyakan perihal keadaaan yang Za alami. Ayah menggenggam tangan yang tadi terluka, spontan sang empu meringis kesakitan. Dengan segera Ayah melepaskan tangan Za, Bunda yang baru ingat bahwa tangan putrinya terluka langsung melepaskan pelukannya sedari tadi.Saat hendak bangkit mencari kotak obat suara tegas dan tajam itu mengintruksi bahwa ia yang akan mengobatiku.
“biar aku saja.” Itu suara Abang Yusuf. Za sangat takut menghadap wajah Abang Yusuf, padahal ia yakin kalau bang Yusuf tak akan mungkin memarahiku.
“bolehkah yang lain keluar sebentar?”. Deg, rasanya jantung Za akan berhenti saat itu juga, ia menunduk semakin dalam menyembunyikan wajahku di dalam rambut yang tergerai.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
kira-kira kenapa ya semua harus keluar kecuai Abang Yusuf???Next part ya wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepertiga Malam Terakhir
Teen FictionSiapa yang tak memiliki masa lalu? Semua orang pasti memilikinya bukan? Terlepas itu masa lalu yang kelam atau membahagiakan, tak ada yang berhak menghakimimu. Termasuk dengan Za, gadis SMA yang pernah di dekap oleh kelam. Pernah jatuh tertimp...