11. Terpaksa Menerima

5.1K 244 5
                                    

"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"

Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.

Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.

Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.

Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya.

"Aku belum bisa menjawab sekarang."

Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemarinya.

"Apa kamu mau aku bongkar semua?" bisiknya setengah memaksa.

Mereka hanya tinggal berdua di kamar perawatan karena Pandu sedang keluar membeli makanan di kantin depan.

"Jawab sekarang, Nisa. Katakan iya," bisiknya lagi sembari mengeratkan genggaman yang membuat wanita itu mengaduh kesakitan.

Annisa menatap Bima dengan geram, lalu berkata lirih, "I-ya."

"Good," ucap laki-laki itu sembari melengkungkan senyum kemenangan.

"Tapi ... ada syaratnya," pinta wanita itu dengan terbata. Dia harus mengatakannya karena jika tidak, maka Bima akan banyak menuntut.

"Apa?" tanya laki-laki itu penasaran.

"Aku gak mau tinggal di rumah Ibu. Aku juga minta kita pisah kamar," katanya dengan yakin.

"Maksud kamu?"

"Kamu menikahi aku hanya demi anak itu, kan? Kalau begitu, kita hidup masing-masing," lirihnya.

Bima tersentak dan langsung mengerti maksud dari ucapan Annisa barusan. Jika dia mengiyakan, itu berarti mereka tidak akan menjadi suami istri yang sesungguhnya. Laki-laki menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Oke, kalau itu mau kamu."

Mau tak mau, Bima harus menyetujuinya asalkan mereka menikah terlebih dahulu. Nanti secara perlahan, dia akan mengambil hati wanita itu.

"Jangan ambil anakku. Jangan pisahkan kami," ucap Annisa memohon.

Kemarin, ayahnya bercerita bahwa semua biaya selama mereka berada di rumah sakit ditanggung oleh Bima. Sehingga, Annisa merasa tak mempunyai pilihan lagi. Bagaikan makan buah simalakama, dia serba salah menentukan di antara dua pilihan yang sulit.

Bima kembali menatap wajah sayu itu. Annisa yang dulu terlihat begitu menawan, kini bagaikan bunga layu tak tersentuh air. Dia mencoba meraihnya ke dalam pelukan, tetapi tubuhnya malah didorong dengan kasar.

"Jangan coba menyentuhku. Baik sekarang atau ... setelah kita menikah nanti."

Bima menelan ludah dengan getir, lalu mengangguk.

"Keluar," usir Annisa sembari berharap agar laki-laki itu tak menemuinya untuk sementara waktu.

Bima melepaskan jemarinya lalu meninggalkan ruangan itu dengan berat hati. Dia berjalan menuju ruang intensif anak karena rasa rindu kepada putranya.

Dokter belum bisa memastikan kapan putra mereka bisa ke luar dari ruangan itu, karena semua tergantung perkembangan berat badannya. Dia berharap agar semua segera normal seperti sedia kala, agar dapat segera menimang sang buah hati.

Masa Iddah yang TernodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang