Nama yang Dipanggil

27 6 0
                                    


Derap kaki penuh kebisingan terdengar jelas di luar rumah berdinding kayu. Teriakan demi teriakan bersahutan seolah memberi pertanda.

"Cepat pergi! Pergi dari sini, Zharotte!"

"Tidak Ibu ... jangan memintaku pergi."

"Dengarkan Ibu, Nak. Kamu harus selamat, harus!"

Penolakan akan permintaan sang ibu terus keluar dari bibir mungil gadis berusia lima belas tahun. Rambut hitam panjang dan tubuh kurus yang tidak terawat tetap kukuh berada di samping wanita paruh baya yang berbaring karena sakit-sakitan.

Karena sudah tidak banyak waktu lagi, sang ibu meneriakkan nama lengkap anaknya yang tidak pernah disebut. Saat itu juga gadis kecil yang tengah menangis sadar bahwa ibunya benar-benar menginginkan kepergiannya.

"Baiklah, Bu. Jaga diri Ibu. Zharotte, pergi." Dengan mengusap air mata, gadis itu berlari menuju pintu belakang. Namun, para penjarah dengan cepat masuk ke rumah melalui segala sisi.

"Wah, ada satu nih, Bos!" teriak penjarah yang berhadapan dengan Zharotte.

Tubuh kecil itu berjalan mundur, ia berusaha mengecoh penjarah dan berusaha lari. Namun, semua sia-sia karena langkah kecilnya kalah dengan langkah orang dewasa.

"Lepaskan!" Zharotte terus merengek dan meronta-ronta, berusaha terlepas dari cengkraman penjarah. Sayang, tubuhnya tidak cukup kuat melawan orang dewasa dan membuatnya berakhir dengan mendapat tamparan keras.

Gadis itu dibawa masuk ke rumahnya karena penjarah lain masih ada di sana. Saat sang ibu melihat anaknya tertangkap, dengan tubuh lemah ia berusaha memohon pada seseorang yang tampak seperti bosnya.

Bukannya mendapat pengampunan, pria yang mengenakan pakaian berwarna coklat itu justru menjambak rambut Ibu Zharotte. Teriakan kesakitan terdengar memekik diiringi teriakan sang anak yang tidak terima ibunya diperlakukan seperti itu.

Karena merasa kesal dengan sikap Ibu Zharotte, penjarah itu pun menghunuskan pedangnya tepat di dada wanita paruh baya yang sedang sakit. Darah segar mengalir, membuat tubuh sang anak yang meronta seketika mematung karena pemandangan yang ia lihat. Mata yang terbelalak tanpa sadar meneteskan butiran bening air mata.

"Ibu!" teriak Zharotte, ia berusaha merangkak menghampiri ibunya. Namun, belum sampai tangannya menyentuh tubuh sang ibu, pemimpin itu berteriak, "Bawa anak itu pergi! Cepat!"

"Ti-tidak! Jangan bawa saya!" tubuh mungil terus merota. "Ibu! Ibu!" teriakan terus memekik membuat para penjarah berteriak kesal.

"Diam!" tamparan yang cukup keras mendarat di pipi gadis itu. Seketika dia pun terdiam meski air mata yang mengalir tidak bisa dihentikan.

Ketika berada di luar, Zharotte sadar bahwa hal itu tidak hanya terjadi padanya. Banyak mayat yang tergeletak di pinggir jalan. Pot-pot yang ada di depan rumah hancur, ada juga beberapa orang dewasa yang tampak bersembunyi di sela-sela reruntuhan kayu.

"Ada apa ini? Siapa mereka? Apa penjarah itu memang ada?" Pertanyaan itu muncul di benak Zharotte, dia tidak menyangka selama lima belas tahun hidupnya mengalami kejadian pahit seperti itu.

Memang, sejak dulu cerita tentang penjarah terus beredar di masyarakat. Namun, karena selama hidupnya melihat desa kecil yang ia tinggali aman-aman saja, Zharotte berpikir bahwa itu cerita yang digunakan orang dewasa untuk menakuti anak-anak.

"Masuk, cepat!"

Tubuh kecil didorong, dimasukkan dalam kereta kuda. Di sana banyak anak-anak seumurannya, ada juga yang lebih muda dari usia Zharotte. Mereka meringkuk, memeluk kedua kakinya sambil gemetar. 

Dipublikasikan: 06 April 2021

Zharotte, Mulier Aurum LuscusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang