Satu, satu, satu, dua, dua, dua
Begitu kiranya pikiran Sekar saat ini. Ia tidak sedang belajar menghitung, tetapi sedang berkutat dengan data usia remaja London yang menjadi pusat penelitiannya. Sorot matanya berubah seketika Michelle Jane, teman se-flat-nya, mengetuk sudut meja perpustakaan tempatnya duduk.
"Hei, Flo. Mau break dulu nggak?"
"Hmmm, sedikit lagi sih."katanya.
Michelle memutar bola matanya seakan sudah meramal jawaban dari Sekar.
"Kamu bakalan mati kalau lama-lama disini."
"Perpustakaan tidak membunuh orang. Motivasi dan pikiran mereka yang membunuh mereka sendiri."
Michelle menutup buku Sekar dan menyeretnya bangun.
"Just ten minutes, i promise."
Sekar melepas tangan Michelle dan duduk kembali. Membuka bukunya dan melempar senyum tanpa dosa kepada Michelle.
"Oh my god! Kadang aku harus menyerah padamu."
"I'll ketchup. Nora's right?"
"Yeah. But, mungkin kalau kamu nyusul aku sudah nggak ada disana."
"it's okay."
"Oke, then. Bye!"
Michelle sudah sejauh tiga langkah sebelum akhirnya ia berputar dan mendekati Sekar lagi.
"By the way, apakah nanti sebelum pulang kamu akan bertemu Prof Keenan?"
"Mungkin,"jawab Sekar mengantung.
"Can you ask him about my paper? I did so much work on that, but i think he doesn't like it. Just, ask him about it okay? Please?"
Sekar mengangguk. Tidak ada salahnya untuk bertanya kepada seorang professor, pikirnya. Sekar selalu menganggap bahwa bertanya dan menjawab adalah aktivitas paling menyenangkan selama ia hidup. Bertukar pikiran, memberikan argumen, menanyakan persoalan basa basi tentang kehidupan, adalah salah tiga dari ratusan komponen aktivitas bertanya dan menjawab.
Professor Keenan sudah hampir kepala enam, tapi ia tetap bisa melihat dengan jelas dan jaringan neuronnya seakan tak pernah layu. Itulah mengapa kesenangan Sekar berubah menjadi berkali-kali lipat ketika bertemu dengan professor satu itu.
Dan, professor Keenan pun melihatnya sebagai mahasiswa cerdas yang sebenarnya jauh lebih cerdas apabila diberikan kesempatan. Itulah mengapa Professor Keenan juga senang bertukar pikiran dengan Sekar.
^^
Kafe Nora terletak tak jauh dari fakultas Sekar. Dengan mudahnya, ia dapat membiarkan kakinya melaju sesuai dengan kecepatan rata-rata manusia berjalan dan sampai di sana. Kafe itu sudah ada semenjak ia menjadi freshman di UCL. Kadang ia memilih untuk menghabiskan makan siangnya di taman depan fakultasnya sembari menikmati rumput basah di bawah tubuhnya.
Ia tak mungkin berbohong dengan mengatakan ada sesuatu yang berdesir di dalam diri tanpa ia ketahui penyebabnya. Melihat beberapa pasang bibir saling berciuman menambah reaksi itu. Atau, melihat bagaimana tatapan cinta antarpasangan.
Sekar tidak pernah mengerti sebab hal semacam itu segan nangkring di hidupnya. Lalu, Sekar akan mendongak ke langit sambil menghirup dalam-dalam udara musim semi pada bulan Maret.
Tapi, kali ini, ia rindu roti isi timun mayonais milik Nora. Jadi, di sinilah ia. Berancang-ancang membuka pintu transparan kafe sambil menilik ke dalam seperti anak kecil mencari ibunya.
"Oh, sorry."suara dengan tone berat membersamai denting lonceng pintu kafe.
Sekar yang tadinya berdiri celingukan di depan pintu sontak menyingkir. Tangan kekar berbulu lembut itu ditarik oleh pemiliknya.
"Mau masuk atau?"
Sesuatu dalam diri Sekar mengulangi desiran rumput basah di taman ketika matanya tidak lepas dari bulu halus tangan kekar itu.
Pria ini punya rahang yang tegas. Rambutnya cokelat cenderung terang dengan warna mata cokelat redup. Tubuhnya tinggi dan badannya kekar. Ia mungkin bisa merengkuh badan Sekar hanya dengan satu lengan.
"Halo? Come in?"
"Ya. Ya."Sekar buru-buru menjawab. Ia sadar bahwa selama itu ia melamunkan setiap segi dari sisi kelaki-lakian pria di depannya.
"There you go."Pria itu menarik pintu, membiarkan Sekar masuk terlebih dahulu.
Gugup melanda sekujur tubuh Sekar ketika pria itu ikut masuk bersamanya. Jantungnya berdegup dan setiap inch tubuhnya tidak berhenti mendesir.
"Flo, Michelle just went out while ago. Library?"Nora yang berada di belakang kasir menyapa Sekar.
"Ya..."Sekar berdeham. "Ya."
Nora melirik ke belakang Sekar. Seringaian bibirnya muncul. Ia menyibakkan rambut pendek merahnya dan mendekati tepian meja agar bisa menjangkau Sekar.
"Is he..."
"No. No. Nora, no."Sekar buru-buru mencegah Nora.
Butuh beberapa detik untuk membuat Nora menjauhkan praduganya.
"Can i have cucumber sandwich with extra mayonaise?"
"You wish."Nora berbalik untuk menyiapkan pesanan Sekar.
Pada momen itu, seperti ada yang sengaja menjeda waktu hingga berubah menjadi lambat. Keinginan Sekar untuk segera pergi tidak bisa ia sembunyikan dari respons tubuhnya. Ujung sepatu lusuhnya memukul lantai dengan ritme yang berubah menjadi cepat.
"Hai, you ok?"pria di belakangnya tiba-tiba mendekat dan berbisik. "Kakimu bergetar dari tadi."
Sekar tak punya upaya untuk berbalik. Ia hanya mengangguk.
Untung saja Nora sudah mulai membungkus roti isi pesanan Sekar. Sekar buru-buru mengeluarkan uang dan menaruhnya di meja. Ia menyambar roti isinya dari tangan Nora lalu berlari begitu saja.
"Is she okay?"pria itu bertanya pada Nora yang juga sama tercengangnya.
"Aku tidak mengerti. Pesananmu?"sahut Nora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Let Me Be The Last To Know
RomansaSekar Pengasih (Kindness Flower) adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang sedang menempuh kuliah di University College of London. Ia merupakan murid beasiswa dari Indonesia. Hidupnya hanya dihabiskan untuk belajar dan belajar. Ia tak pernah mencem...