"Mi, Ika berangkat dulu." Zulaika menyambar tanganku. Aku yang tengah mendak meraih pisau selai di atas meja, terpaksa urung sebab tangannya telah menggenggam jemari ini erat.
"Lho, nggak sarapan dulu, Ka?" tanyaku agak heran. Zulaika, anak pertamaku yang sudah menginjak usia 17 tahun tersebut, biasanya tak pernah melewatkan sarapan. Gadis itu paling suka dibuatkan roti panggang yang diolesi selai kacang. Namun, kali ini dia sangat berbeda.
"Buru-buru," ucapnya sambil mencium tanganku cepat, lalu berlari ke arah depan sana menuju pintu. Rumah minimalis kami yang dapur, ruang tengah, dan ruang tamunya tanpa sekat serta langsung mengarah ke pintu ini memang membuatku langsung bisa memandangi sosok Zulaika yang keluar.
Gadis dengan rambut hitam legam tebal sebahu tersebut sudah menghilang. Tak dapat kutangkap lagi bayangannya dengan kedua mata yang mulai menua. Ya sudahlah. Kalau memang dia tak mau sarapan, itu artinya biar aku saja yang memakan roti panggang kacang ini.
Bila tengah sendiri di rumah begini, aku langsung teringat Ario, anak bungsuku yang sedang mondok di luar kota, serta Mas Danu, mantan suamiku. Dulu, dulu sekali saat rumah tanggaku masih utuh, kami selalu makan bersama di meja ini. Berempat menikmati canda tawa dan hidangan sederhana buatanku. Namun, semua tinggal masa lalu. Tak akan pernah terulang sampai kapan pun.
Ya, aku dan Mas Danu sudah bercerai sejak tiga tahun lalu. Ketika Zulaika berusia 14 tahun dan Ario berusia 13. Perceraian disebabkan karena suamiku yang sudah tak betah menghadapi kesibukanku sebagai bankir. Itu hanya alasan. Keinginan utama lelaki itu ternyata menikahi wanita lain yang selama ini diam-diam dia kencani di belakangku. Aku tak marah. Tak masalah. Tanpa kehadirannya, toh aku masih bisa hidup bersama kedua anak-anakku, meski Ario kini nyantri atas pilihannya sendiri.
Aku yang kini telah pensiun dini dari dunia perbankan dan memilih banting setir membuka pesanan pastry serta merangkai karangan bunga memang tak sesibuk dahulu. Waktuku lebih banyak di rumah. Tanpa dibantu asisten seorang pun, aku tetap bisa mengurusi rumah, Zulaika, dan bisnis kecil-kecilanku. Pesanan kue-kue hanya open pre order dua kali seminggu. Kecuali karangan bunga, itu dapat dipesan kapan pun. Untuk macam-macam momen. Kadang karangan duka cita, perkawinan, naik jabatan, grand openning, dan lain sebagainya. Hasil usahaku bahkan lebih dari cukup untuk biaya kehidupan kami bertiga. Terbukti, aku tak butuh Mas Danu yang memang sudah melupakan kami semenjak perceraian itu datang.
Usai sarapan, aku langsung beres-beres. Hari ini tak ada pesanan kue maupun karangan bunga. Aku jadi pengangguran sehari. Rencananya, akan kunikmati hari ini dengan menonton drama Korea di laptop. Usia memang boleh tua, tapi seleraku dan Zulaika sama, lho. Hehe aku memang menolak tua sepertinya.
Mencuci piring bekas makan sudah. Menyapu juga sudah. Aku langsung masuk ke kamar Zulaika untuk membereskan kamar anak gadis tersebut. Alangkah kagetnya aku dengan tisu yang berserakan di atas tempat tidur. Tisu-tisu bekas pakai itu menggumpal bagai bola-bola dengan jumlah banyak. Zulaika kenapa? Apakah dia habis menangis semalaman? Atau dia sedang pilek? Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Sudah berengkatnya buru-buru, dia tak mau sarapan pula. Bagaimana kalau anak itu memang kurang sehat dan tak ada isi makanan di perutnya? Astaga, gadis itu selalu saja bikin aku khawatir!
Kusapu dengan telaten semua sampah di kamarnya. Ada bungkus snack, tisu-tisu bekas pakai, baju kotor, semuanya campur aduk centang perenang membuat kepala pening. Untung yang di rumah hanya satu anak. Kalau ditambah dengan Ario, tensiku bisa langsung naik drastis.
Tring!
Aku luar biasa kaget saat mendengarkan suara itu. Kutoleh ke arah meja belajar di mana suara tadi berasal. Laptop milik Zulaika tampak belum mati dan tertutup setengah. Aku pun langsung menghentikan aktifitasku dan langsung mendekat ke arah benda pipih empat belas inci dengan warna silver tersebut.
Saat kutegakkan layar laptopnya, ternyata sebuah drama Korea sepanjang tadi terputar dan dimatikan oleh Zulaika volumenya. Langsung kukeluarkan jendela pemutar video tersebut.
"Duh, Ika, kebiasaan banget!" omelku sendirian.
Ketika jendela pemutar video tersebut sudah tertutup, yang terpampang kini adalah jendela mesin pencarian internet yang menunjukkan akun WhatsApp milik Zulaika. Bunyi itulah yang muncul mengejutkanku tadi. Ada notifikasi pesan masuk.
Awalnya, aku ingin menghargai privasi anakku. Namun, lama kelamaan aku jadi penasaran sendiri. Terlebih pesan masuk itu berasal dari sebuah akun yang diberi nama Boo. Bukankah itu seperti nama panggilan sayang untuk seseorang? Apakah Zulaika sudah punya kekasih? Kenapa dia tidak pernah cerita kepadaku?
Dengan tangan yang gemetar, aku membuka pesan dari si Boo. Duduk aku di kursi belajar milik putriku sambil menatap layar laptop dengan degupan jantung yang kencang.
Ada yang terkoyak dalam dada ini. Sakit sekali perasaanku. Bukannya aku ini bodoh dan tak paham apa arti di balik pesan dengan bahasa gaul ini. Terlebih saat membaca kata 'turn on'. Perasaanku sebagai seorang ibu plus single parent benar-benar hancur lebur tak bersisa.
Tega kamu kepada Mami, Zulaika!
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAN KOTOR DI LAPTOP ANAKKU
General FictionSaat aku menemukan pesan 'kotor' di WhatsApp web yang terpasang di laptop anak gadisku, mampukah aku untuk menyelamatkan masa depannya yang kadung hancur lebur akibat pergaulan bebas?