II

202 37 60
                                    

Brak!

Pintu kamar didobrak. Di sana, terpampang Hanji dengan pose kaki masih melayang menghadap ke arah kamar. Sedetik kemudian, dia menurunkan kakinya. Memotong jarak ke meja kayu bundar dengan dua kursi di samping kanan dan kiri. Nampan berisi tiga cangkir teh dan sepiring kukis bertumpuk delapan diletakkan.

Levi berteriak di tangga paling atas, "Jangan didobrak, Mata Empat!"

"Biar cepat, Kapten!" Hanji balas berteriak.

"Kau mau ganti rugi, hah?"

"Boleh saja, nanti tinggal pakai uang tabungan bersama."

"Dasar tidak waras." cerca Levi di belakangnya, sementara yang dicerca bersiul gembira-mengganggap kalimat yang keluar dari mulut Levi tadi adalah angin lewat belaka.

"Silakan duduk, Kapten." Bak pelayan andal, Hanji menarik kursi bagian kanan. Mengasihi sudi kepada Levi untuk duduk.

Levi menurut saja. Ia tak perlu bersusah payah menarik kursi kayu itu.

Hanji mendorong sedikit kursi ke arah meja. Kemudian duduk di hadapan Levi. Seperti robot otomatis, mereka berdua serentak menenggak teh dengan gaya berbeda-Levi memegang bibir cangkir dan Hanji memegang pegangan cangkir layaknya khalayak.

Jarum jam bergerak kontinu, tak ada konversasi mengudara. Hening. Mereka asyik dalam genangan pikiran dalam kepala. Levi menatap jendela yang menampilkan ketimpangan desa di pegunungan dan gedung-gedung kota. Sesekali melirik Hanji yang asyik menyantap kukis buatannya. Setelah menempuh banyak eksperimen, kali ini kukis buatannya berhasil-tekstur pas dengan rasa tidak terlalu manis.

Stagnan dengan keheningan. Maklum, jarang-jarang mereka seperti ini. Sebelum menikah, mereka pernah mengadakan acara minum teh sore. Namun jarang, hanya dilakukan jika ada perlu. Selebihnya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Hanji berhenti mengunyah. Di atas piring, tersisa dua kukis yang belum tersentuh.

|


Bosan menghampiri Hanji. Ia memainkan figur dinosaurus hijau, membuatnya seakan berjalan menuju bibir cangkir.

Tuk tuk tuk.

Dinosaurus itu membungkuk, mengecap teh hijau miliknya.

Kemudian, plung.

Hanji melepaskan kaitan jemari, menceburkan dinosaurus malang itu ke dalam kubangan hijau bening. Mengaduknya dengan sendok teh.

Levi menatap ke arah cangkir porselen Hanji, beralih ke arah Hanji yang sibuk sendiri. Ada heran, bingung, dan jijik tersorot dari sepasang netra Levi.

"Kau apakan lagi tehmu?"

"Dia butuh mandi. Kasihan, dia terpapar debu terus." jawab Hanji tenang. "Enak, kan, berendam di teh hijau? Kamu bisa sekalian meminum airnya."

Sebenarnya dinosaurus itu tidak kotor-atau kelihatannya begitu. Levi selalu membersihkan tiap celah benda-benda di rumah. Bawah meja, punggung kursi, sisi lemari, lekuk figur, hingga sudut bingkai jendela.

Namun, ketentuan kotor bukan hanya dari penampilan saja, kan? Setidaknya bagi mereka berdua. Masih ada bakteri, makhluk mikro yang bersemayam dalam tiap benda. Bisa saja bakteri masih menempel dalam dinosaurus malang itu. Tapi, pikiran Hanji sudah diselubungi apatis.

Levi diam, membiarkan Hanji melakukan kesibukan anehnya. Dia sudah tidak peduli. Segala keabnormalan Hanji adalah camilan kesehariannya. Justru aneh jika Hanji berdampingan dengan normal.

Di sela-sela adukan, Hanji berceletuk.

"Levi, kamu punya angan saat tua nanti?"

"Maksudnya?"

"Ya ..., membayangkan diri saat tua. Sama seperti kita membayangkan diri ketika dewasa saat kecil."

Adukan terhenti. Kini, Hanji menatap Levi dengan dagu dalam pangkuan telapak tangan.

Levi geming sejenak.

"Mungkin seperti orang tua pada umumnya."

Hanji mengangguk, kemudian dia terkikik, lalu tertawa sekian detik setelahnya. Di hadapannya, Levi menatap bingung.

"Ya ampun, aku tidak bisa bayangkan kamu punya uban di sekujur kepala." Dia mengusap sudut matanya. "Aduh, maaf, ya."

"Terus, terus, nanti kalau aku kabur, kamu kesulitan menangkapku." Hanji beri jeda. "Soalnya kakimu terlalu lemah untuk berlari, jadi kamu terhuyung mengejarku."

"Bukankah kau akan sama juga?"

"Aku? Tentu saja tidak. Pola hidupku sehat. Jadi, saat tua aku akan tetap sama." Hanji tersenyum bangga.

Levi hendak melempar respon. Namun, interupsi dari mulut Hanji keluar lebih dulu. "Oh iya, kamu Ackerman. Aku lupa."

Telapak tangan Hanji mendarat di dahinya, menimbulkan bunyi plak yang getarannya tertangkap jelas oleh telinga Levi.

"Kenapa?"

"Ackerman tidak pernah menua." katanya seakan memberi tahu sebuah trivia kepada Levi. Telunjuknya diposisikan sedikit miring di samping kanan wajah.

"Om Kenny yang kepala lima saja terlihat seperti pria 30 tahun. Mama juga begitu."

Levi diam, pertanda mengaminkan pernyataan Hanji.

"Ah, sudah petang." Pandangannya mengarah ke pendar gradasi oranye ungu yang merekah dari garis horizon di kejauhan. Seakan menyelimuti gedung-gedung tinggi yang tersebar di seluruh wilayah kota.

Hanji beranjak, dengan cekatan merapikan kembali cangkir-cangkir dan piring. Levi mengelap meja hingga pantulan cahaya menyilaukan mata setelah cipratan alkohol menempel di atas meja. Kemudian, mereka pergi menuju dapur. Menyisakan kosong yang memenuhi penjuru kamar.

|


a/n :

Mama : Kuchel Ackerman, ibu Levi Ackerman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArbitrerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang