sekolah

3 1 0
                                    

" Gue kan ditakdirin buat jadi manusia laknat."

-Akhsan-

Mempunyai cita-cita yang tinggi adalah hak setiap manusia yang tidak bisa dilarang. Begitu juga dengan Amreta, ia dan keluarganya memutuskan pindah ke pusat ibukota demi menempuh pendidikan yang lebih bermutu.

"Amreta, ayah hari ini tidak bisa mengantarmu ke sekolah barumu. Ini juga 'kan hari pertama ayah masuk kerja. Jadi ayah takut terlambat". Kata Berlian ayah Amreta yang baru diterima di sebuah perkuliahan negeri sebagai dosen.

"Gak apa-apa dong Yah, Amreta bisa sendiri kokh." kata Amreta sambil menyalim tangan ayahnya.

"Selamat menikmati hari di sekolah baru ya Amreta, hati-hati di jalan. Beritahu ayah kalau terjadi sesuatu." Kata Berlian sambil melambaikan tangannya hendak berangkat kerja.

"Iya Yah, ayah juga hati-hati."

  Setelah melihat mobil Berlian menjauh, Amreta menyalim tangan ibunya -bunda Raya- kemudian berangkat sekolah sendiri.

Raya bukannya tidak mau mengantarkan putri bungsunya itu ke sekolah, apalagi ini hari pertama. Hanya saja, Amreta tahu bahwa masih banyak hal-hal yang Raya harus urus.

Sejak kecil Berlian selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mandiri. Sifat mandiri itu juga ada pada diri kedua kakaknya, Fransiskus dan Rosalin. Terbukti dengan Franssiskus yang tinggal sendiri di kota itu untuk  menempuh perkuliahan dan Rosalin yang kini tinggal sendiri di kota asalnya untuk  menempuh pendidikan kelas akhir dibangku SMA.

Dengan bersemangat, ia melangkahkan kaki menyusuri jalanan untuk mencari bus. Sekitar sepuluh menit gadis itu berjalan, ia mendapati tatapan mencurigakan dari seorang laki-laki bermasker hitam yang berpapasan dengannya. Dengan buru-buru ia berlari menjauhi sosok misterius itu. Tanpa ia sadari tali sepatunya terlepas, sehingga membuatnya terjatuh.

"Aduh sakit ...,"rengek Amreta.

"Kamu gak papa?" seorang laki laki berseragam sekolah mengulurkan tangan.

"Hah? eh, iya aku gak papa kok." Jawab Amreta tersenyum sambil menerima uluran tangan laki-laki ramah itu.

"Cantik"

"Hah?" Tanya Amreta mengerutkan kening.

"Eh, enggak aku bilang tadi sepatumu cantik. Btw kamu baru pindah ya ke kompleks ini soalnya aku baru lihat ada bidadari di kompleks ini. Eh lupa kenalin aku Dio, laki-laki beruntung yang dianugerahi ketampanan yang menyiksa batin cewe-cewe."

"Hay Dio, ia aku baru pindah ke sini satu minggu yang lalu, rumah kamu sekitaran sini ya?" kata Amreta setelah selesai memperbaiki tali sepatunya.

"Nggak kok, tapi aku punya teman namanya Akhsan rumahnya sekitaran sini. Terus kamu mau kemana?" Kata Dio sambil memperbaiki rambut hitamnya yang berantakan karena tersapu angin.

"Ini aku lagi ke halte nyari bus. Aku duluan yah takut terlambat".

"Mau aku anterin?" kata Dio menawarkan bantuan.

"Terima kasih aku bisa sendiri."

Dua puluh menit sudah Amreta menghabiskan waktu dalam bus. Kini ia sudah di depan gerbang sekolah barunya. Tulisan SMA S BERSINAR terpampang jelas membuat gadis berambut pendek ikal itu bersemangat memasuki area sekolah. Amreta bersyukur bisa menggali ilmu di sekolah favoritnya.

Akhsan pov

"Gue sekolah dimana yah?" Tanya Akhsan pada cermin di kamar mandi bagai orang tak punya teman." Akhsan adalah putra sulung dari seorang pengusaha sukses bernama zhon Davan.

"Akhsan lo dimana sih nak ini udah jam berapa?" Teriak ibu Akhsan, mami Anisa.

"Iyah mi, ni lagi dikamar mandi pacaran sama cermin". Akhsan menyahut.
"Ya ampun Akhsan ini udah jam delapan. Lo ngapain aja dari tadi. Ini kan hari pertama masuk sekolah." Anisa menghampiri Akhsan dikamar mandi.
"Tumben peduli sekolah Akhsan mi, biasanya juga enggak." Kata Akhsan sambil beranjak mengambil seragam sekolahnya.
"Ya gue cuma mau jadi mami yang baik buat lo Akhsan. Selama ini mami gak punya waktu buat lo dan Martin."
"Gak usah repot-repot mi, kek dulu aja Akhsan suka kok." Kata Akhsan tertawa sambil mendorong maminya keluar karena ia ingin berganti pakaian.
"Biar bisa bolos gitu?" Tanya mami Anisa dibalik pintu.
"Nah itu mami tahu, Akhsan 'kan ditakdirin buat jadi manusia lanat."
"Terserah deh." Anisa meninggalkan Akhsan.

Setelah selesai berganti pakaian, Akhsan menemui maminya untuk menanyakan ke sekolah mana dia didaftarkan. Ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dengan menutup mata.
"Lihat, gue bakal jalan gak pakek mata, jadi mata gue istirahat dulu." kata Akhsan pada dirinya.
Tanpa sengaja ia menabrak papinya yang hendak ke ruang tamu.
"Aduh astoge gue ditabrak tiang." kata Akhsan memegang kepalanya tanpa melirik papinya.
"Apa lo bilang Akhsan, lo gunain mata lo gak sih? Sekarang lo mau kemana?"
"Emang lagi gak gunain mata. Dan sekarang gue mau ke skul." jawab Akhsan santai.
"Emang benar ya, lo punya mata gak guna, ini udah jam berapa Akhsan. Amreta aja udah berangkat dari satu jam yang lalu." kata papi Akhsan lalu meninggalkan laki laki berseragam putih abu-abu itu.

"Amreta?" tanya Akhsan dalam hati.

"Oh ... " Akhsan berteriak keras walaupun ia tahu bahwa papinya tidak lagi mendengar karena sudah berangkat kerja.

"Kenapa lo teriak-teriak gak jelas." kata Martin menghampiri Akhsan.
Martin adalah satu-satunya adik Akhsan yang sekarang duduk dikelas sembilan SMP.

"Gak tau, mulut gue pengen teriak aja." Jawab Akhsan meninggalkan martin, kemudian menyalakan mesin motornya pergi ke sekolah. Pergi ke sekolah? Emang Akhsan tahu dimana ia didaftarkan kesekolah. Akhsan 'kan lupa bertanya pada maminya. Lalu laki-laki itu pergi kemana?

Happy reading....
Yakin gak penasaran Akhsan bakal kemana?
Part 2 ditungguin ya.

Jangan lupa tinggalin jejak.
Mantan aja yang nyakitin pasti ada kenangan manisnya,masa kalian enggak?

Akhsan Amreta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang