Bab 1. Where's Civilization?

33 12 42
                                    

Aku menulis ....

Terbuka tirai matanya, sengat matahari tepat di hadapan netra coklatnya.

"Pendejo! Aku buta. Dasar mentari sialan!"

Himilir angin menyejukkan keadaan sekitar. Pohon rimbun tumbuh berderet satu sama lain, saling berbagi cahaya dan air untuk hidup tumbuh bersama. Sepintas sorot mata binatang memandang pria yang berpakaian nyentrik itu. Rasa penasaran yang dibubuhi rasa takut, membuat mereka diam memperhatikan pria berparas Amerika Latin itu.

"Panasnya," keluhnya membuka manset dan kancing kerah. "Ini seperti aku berada di kehidupan wild west, masih ada juga tempat kering di dunia ini."

Faktanya pria itu berdiri di tengah-tengah padang rumput gersang; savannah, yang tidak ada satu pun pohon hijau tumbuh subur.

Dalam ratusan meter jauh memandang, hutan lebat tempat di mana pasang mata berada kini menghilang. Binatang-binatang itu kehilangan rasa penasarannya ketika tahu bahwa pria tersebut berteriak tanpa sebab seolah dia tidak waras.

"Bukankah waktu itu aku berada di dalam pesawat? Ah, bukan. Aku berada di shangri-la! Ngomong-ngomong di mana wanitaku ... Ya Tuhan, aku melantur lagi. Mungkin efek kokain sebelumnya masih tersisa."

Merasa sia-sia berdiri mematung, pria itu berjalan mencari seorang manusia dengan mengandalkan arah matahari. Kini ia berjalan sempoyongan sambil sesekali mengeluh ketika ada tanjakan kecil di hadapannya.

"Pesawat ... ya, pesawat. Ngomong-ngomong di mana yang lain? Apakah hanya aku sendiri yang terdampar di sini? Benar-benar tidak masuk akal, seharusnya penumpang lain juga ada bersamaku. Bahkan pesawat jet itu lenyap bak ditelan bumi ... Ya Tuhan! Ada apa dengan mulutku! Kenapa aku tidak bisa berhenti mengoceh?!"

Pria itu terus mengumpat-umpat entah kepada siapa ia berbicara, seolah kewarasannya sudah berada ditahap yang mengkhawatirkan.

Sulit bagi pria itu untuk mengendalikan mulutnya yang besar itu. Kadang kala ketika kakinya terguncang ia kembali merutuk kencang-kencang.

"Kokain, aku membencimu, pendejo ... Ya Tuhan! Berhentilah berbicara dasar mulut kotor. Kenapa aku sulit berbicara dalam hati, kenapa?!"

Pria itu berulang kali menampar mulutnya sendiri, berharap untuk tidak banyak bicara. Akan tetapi, reaksi halusinogen kembali menyeruak ketika kumpulan makhluk seukuran bola menghadang jalannya.

"Apa itu? Bola hijau itu melompat-lompat seperti orang gila. Tunggu, atau mungkin aku mulai berhalusinasi lagi."

Pria itu menampakkan wajah panik ketika makhluk itu mendekatinya.

"Jangan kemari, tolong jangan kemari! Auch! Bola itu menyetrumku! Enyahlah, tendangan CR-seven!"

Dia menendang keras bola lendir itu jauh-jauh. Bukannya menghilang, makhluk kecil itu kembali berdatangan dengan rekannya yang jumlahnya puluhan ekor.

"Ah! Kalian slime, ya slime! Sialan aku terkepung. Cepat pergi sebelum aku menghancurkan kalian, pendejo!"

Pria tersebut memasang ancang-ancang petinju boxer khas Latin; orthodox.

Bukannya membuat mereka takut, justru makhluk slime itu semakin agresif. Serangan slime lancarkan satu persatu seperti pukulan berantai. Sedangkan pria itu terus menghindar dan membalas dengan tendangan ringan yang tak terarah saking paniknya.

"CR-seven, Messi, Suarez, Isco, Ronaldinho, tendangan Maradonna!"

Satu atau dua ia tumbangkan hingga muncul layar hologram di hadapannya.

[Level Up!]

Pria itu tertegun sejenak, mencoba mencerna apa yang barusan ia lihat.

"Pendejo, level up? Apa ini salah satu efek kokain ... aduh, sakit!"

Dementia Z (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang