Jujur, gue gangerti sama mereka, iya mereka. Mereka yang sulit gue tebak sifatnya disetiap situasi yang berbeda. Mereka yang berhasil bikin gue bingung apa kebahagiaan yang mereka inginkan sehingga harus mengorbankan diri gue. Air mata gue terus terusan jatoh setiap mengingat momen momen lucu yang pernah dilalui bareng bareng. Satu lagi, mereka berhasil memperkenalkan ke gue apa arti kecewa dan hilang kepercayaan sama orang yang di sayang.
—
Dulu, pas gue masih kecil. Gue di pertemukan sama satu cewe yang entah gue gatau asalnya darimana. Dia baik, sopan, supel, dan loyal banget sama temen. Gue tertarik, dan berhasil jadi temen baik gue. Kita semakin dekat. Mulai dengan sama sama sharing tokoh kartun favorit, menonton serial kartun bersama, bermain bersama, pokonya hal hal normal yang suka dilakukan oleh anak kecil yang baru bertemu dengan sahabat barunya. Tertawa bahagia terdengar, kaki kaki kecil kita yang semakin lincah jika dilihat lihat. Hobi berpelukan, lalu tertawa lagi.
Wenda namanya, gue manggilnya kadang wen, wendot, pokonya panggilan panggilan aneh suka gue sebutin buat manggil dia. Kita tumbuh besar bersama. Makin gede hobinya suka banget saling nginep di rumah satu sama lain. Gue sendiri hobinya ngikutin dia, entah style, cara nulis, hobi, bahkan sampai sampai mata gue ikutan minus gara gara mau kayak dia.
Jadi dulu pas kelas 1 SD. Masa masanya kenalan sama temen temen baru. Nah kebetulan gue emang udah bareng sama dia dari TK. Jadi ya buat apa kenalan lagi. Dia pake kacamata. Gue tanya.
"Eh eh kamu minus berapa, Wenda?." Tanya gue pas kecil.
"Hmm..minus 0,5 hehe." Jawabnya polos.
"Aku mau coba boleh?." Izin gue sambil menjulurkan tangan berharap dia memberikan kacamatanya.
Wenda mengangguk, lalu melepas dan memberikan kacamatanya ke gue.
gue yang dari dulu iseng, gue coba coba tes jari ke dia."Ini angka berapaaa?." Tanya gue sambil membentuk jari bentuk peace.
"Duaaaa" jawabnya sambil menyipit nyipitkan matanya.
Gue mundur, memastikan dia bisa melihat sampai sejauh apa.
"Ini angka berapaaa?." Tanya gue lagi sambil membuka lima jari.
"Limaaa." Jawabnya.
"Ish ko keliataaan" kata gue kesal.
"Aku minus bukan berarti butaaa." Jawabnya kesal.
Gue membentuk huruf 'o' sempurna. Lalu mulai menggunakan kacamatanya. Mata gue mengedip ngedip pelan. Lalu menyernyitkan dahi. "Ko perubahannya dikit banget, aku biasa aja makenya".
"Kan minusnya masih keciiill." Jawabnya.
Gue mengangguk sok sokan mengerti.
Kalian tau? besok nya gue pake kacamata warna pink yang bunda gue beliin buat dipakai kalo naik motor biar gakelilipan sama debu. Waktu itu beberapa orang dikelas nanya ke gue, begitupun Wenda yang ikutan heran kenapa gue tiba tiba kacamataaan.
"Kamu beneran minus?." Tanya beberapa temen gue di kelas.
"I-Iya." Jawab gue ragu.
"Boleh pinjem gaa kacamatanyaa?." Izin beberapa temen gue sambil gaya memohon.
"Ga-gaboleh! Nanti kalian minus kayak aku sama Wenda." Jawab gue polos. Padahal jelas jelas gue bohong kan kacamatanya cuman kacamata gaya.
Temen temen gue mengehembuskan nafas kecewa. Lalu pergi meninggalkan gue dan Wenda berdua.
Tragedi gue pake kacamata cuman bertahan sampe 2-3 harian. Lalu udahan.
Lanjut lagi pas kelas 4 SD. Gue tanya Wenda pas lagi main ke rumahnya.
"Wen, cara minus gimana sih?." Tanya gue.
"Oh..Gampang. Kamu pakai kacamata aku sekarang, trus baca buku tiduran, trus nonton TV deket deket. Ntar juga minus sendiri." Jawabnya sambil memberikan kacamatanya. Seinget gue waktu itu dia minus 2 apa 3 gitu.
Tanpa mikir panjang, gue pakai aja.
"Wen, Ko pusing ya?." Tanya gue sambil menyesuaikan mata gue.
"Ih gapapaa. Katanya mau minus?."
Bener juga ya, kan katanya mau minus?.
Gue beneran ngelakuin apa yang dia bilang. Mulai dari baca buku tiduran, nonton TV deket deket. Terus sering sering nyobain kacamata dia.
Tibalah gue di kelas 1 SMP. Gue iseng pengen cek mata. Bener aja, gue minus beneran dan langsung 1,5.
Kejadian itu bener bener menjadi penyesalan gue seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulis Sebelum Pergi
Randompart agak sedikit berantakan, karena buatnya juga sesuka hati curahan hati seorang perempuan yang tetap bertahan hidup bersama tulisan tulisannya yang dapat ia rangkai sejak masa remaja mulai menghampirinya. Potongan potongan kisah kehidupan mulai...