Di sudut kamar, remaja berusia sembilan belas tahun itu tengah duduk sendirian menghadap ke arah jendela. Tatapan kosongnya tertuju pada langit jingga di mana matahari telah tenggelam di ufuk barat. Ia mengenakan baju koko putih dan celana dasar hitam. Dia adalah Putra, remaja yang baru saja kehilangan sang ibu dan ia tidak mau menghadiri pemakamannya.
Angin sore berembus masuk ke kamar. Putra tetap begeming walau udara semakin dingin menusuk kulit. Wajah pucat, bibir kering dan pecah-pecah. Ia tampak begitu asik menikmati kesendiriannya. Waktu pun terus berjalan dan kesunyian semakin dalam. Perlahan suara masa lalu kembali terngiang memenuhi kepala.
"Mas, jangan!"
"Diem kamu, gak usah ikut campur!"
Mata Putra berkaca-kaca ketika suara masa lalu itu bergema di telinga. Bentakan sang ayah nyaring dan membuat satu air mata jatuh ke tangan yang terdapat bekas luka bakar. Bayangan akan kekejaman sang ayah semakin nyata di hadapannya. Putra pun di bawa kembali ke masa kecilnya yang suram.
Ayahnya merupakan seorang pemabuk dan suka berjudi. Malam itu, sang ayah baru saja pulang ke rumah entah dari mana. Ia berjalan sempoyongan dengan tatapan sayu, rambut acak-acakan, dan badan bau tengik. Ia pergi ke dapur untuk mencari makanan, akan tetapi dirinya tidak menemukan makanan apa pun. Karena lapar ia memanggil istrinya, lalu menanyakan di mana makanan.
"Anak-anak tadi kelaparan, Mas. Jadi aku biarkan mereka menghabisi makanan," jawab sang istri.
Nanar, ayah Putra membanting piring dan gelas. Wajah memerah dan mata melotot tajam pada sang istri. Sementara itu, Putra yang masih berusia enam tahun bersembunyi di balik pintu selepas mendengar suara piring pecah yang menggelegar. Bentakan sang ayah membuat lutut Putra gemetaran.
"Kamu itu bukannya sisahin makanan buat suami!"
"Tapi mau gimana lagi mas, kamu aja gak kerja, uang bulanan gak ada, sementara anak-anak—"
"Sini kamu!" Ayahnya menyeret Putra keluar dengan kasar setelah ketahuan sedang menguping. Sang ayah membawa paksa ke kamar dan karena murka ia mengambil setrika yang masih terhubung dengan listrik. Kemudian Putra dipaksa untuk merasakan besi panas di kulitnya sampai melepuh.
Putra menjerit kesakitan. "Yah, sakit, sakit!" Ia berusaha berontak untuk melepaskan lengannya, tapi cengkeraman ayah begitu kuat. "Panas, Yah. Panas!"
"Mas jangan!"
Sang ayah mendorong ibu sampai jatuh ke lantai. "Ah, diem kamu. Gak usah ikut campur!"
"Ayah, berhenti!" Dimas datang dan menyelamatkan Putra. Ia mendorong ayah dan menyembunyikan Putra di belakangnya. Namun, ia malah mendapatkan masalah. Ayah menarik Dimas, lalu dipukul tanpa henti walau Dimas meminta ampun padanya.
"Gak usah ikut campur urusan keluarga saya, dasar anak pungut!"
Sementara itu, ibunya berteriak minta tolong. Tidak peduli tengah malam membangunkan orang-orang, yang jelas ia butuh bantuan karena sudah tidak berdaya menghadapi kekejaman sang suami sendirian. Putra sendiri tengah bersembunyi di kolong ranjang sambil menangis. Ia amat takut dengan ayah. Jiwa terguncang dan rasa aman telah hilang. Kini tidak ada yang bisa ia lakukan selain menyaksikan kekejaman ayah pada ibu dan Dimas.
Putra semakin tenggelam dengan masa lalu yang suram hingga ia mengabaikan semua yang ada di sekitar. Putra tidak bisa lagi membedakan antara masa lalu dan masa kini yang terasa menyatu jadi satu. Tangan mengepal kuat dan mata merah melotot tajam. Amarah yang memuncak telah membangkitkan gelombang kekuatan tak kasat mata. Nakas yang ada di samping bergetar dan membuat benda di atas bergoyang-goyang. Foto keluarga menelungkup karena tidak bisa menahan getaran, kemudian pulpen menggelinding hingga jatuh ke bawah, dan gelas bening berisi air bergerak hingga ke tepi meja.
Dari luar kamar, Dimas mengetuk pintu dan seketika gempa kecil yang diciptakan Putra berhenti. Gelas tadi tidak jadi jatuh ke lantai. Kepalan Putra perlahan-lahan melemas. Sementara itu, Dimas mengetuk kembali pintu kamar Putra. Namun, karena tidak mendapatkan jawaban, Dimas memutar kenop pintu dan masuk ke kamar Putra.
Saat berada di dalam, Putra sedang berbaring di atas kasur menghadap samping. "Ini kakak bawain makanan buat kamu," ucap Dimas. Ia meletakkan nampan yang berisi semangkuk sup ayam dan nasi ke atas nakas. "Kamu harus makan karena kakak tau dari kemaren kamu belum makan."
Begitu Dimas duduk di tepi ranjang, Putra langsung membalikkan badannya membelakangi Dimas. Dimas pun menahan tangan yang ingin mengusap lembut kepala Putra. Alih-alih, ia menundukkan kepala. Keheningan di kamar itu kembali menjemput.
Tidak lama kemudian, Dimas bangkit dan pergi dari kamar Putra tanpa sepatah kata pun. Setelah menutup pintu kamar, Dimas menyandarkan badan ke tembok dan menangis karena tidak tahan dengan sikap dingin Putra. Dia tahu jika Putra menyalahkan kematian sang ibu pada dirinya. Putra marah pada Dimas karena telah merahasiakan kanker yang diderita ibu selama bertahun-tahun. Namun, mau bagaimana lagi karena ibu sendiri yang meminta agar Putra tidak mengetahui penyakitnya.
Sesampai di kamar, Dimas menelungkupkan wajah ke bantal dan menangis. Ia berusaha meredam suara agar tidak terdengar oleh Putra yang letak kamarnya bersebelahan. Walau begitu, indera pendengaran Putra begitu tajam dan ia tahu Dimas sedang berpura-pura kuat padahal sama sedih seperti dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTRA : THE DARKEST MIND
Action"Keluargamu adalah rumah nyatamu." -Putri. Putra, seorang remaja yang baru saja kehilangan sang ibu dimanfaatkan tubuhnya oleh Lex dengan memanipulasi pikirannya. Tim 1220 Laskar Hitam harus menghentikan misi Lex sebelum menelan korban lebih...