Part 3

2.2K 134 0
                                    

Ditya sedang melangkah menuju kamarnya ketika satu pesan masuk di ponselnya.

'Kak, bisa ketemu gak..?'

Sebuah pesan dari gadis yang beberapa minggu ini dekat dengannya.

'Bisa. Kita ketemu di cafe biasa aja,' balas Ditya. Kemudian bergegas menuju cafe tersebut.

Sementara di tempat lain, Aya terlihat khawatir menatap ponselnya. Menanti kabar dari Ditya. Cemas karena teleponnya tak diangkat. Begitu pula dengan smsnya, tak ada satu pun yang Ditya balas.

Aya merasakan perubahan pada Ditya. Pemuda yang ia cintai itu mulai sedikit menjauh darinya. Memang mereka sudah jauh secara fisik. Namun kini yang Aya rasakan hatinya pun semakin menjauh. Ditya jarang menelpon atau pun sekedar mengirim sms pada Aya. Padahal beberapa bulan terakhir, Ditya tak pernah tidak mengabari Aya sedang apa dan bersama siapa dirinya.

"Hp-nya dipegangin terus, Ay. Gak bakal lepas lagi, kenceng banget megangnya," terdengar celetukan nakal dari Sarah, sepupunya yang sedang menginap di rumahnya.

"Bukan gitu. Gue lagi nunggu telepon," ujar Aya menyembunyikan kekhawatiran dalam hatinya.

"Dari siapa..?" tanya Sarah penasaran. "Penting banget kayaknya,"

"Ditya. Dari tadi telepon gue gak diangkat. Sms juga gak dibales,"

"Lagi sibuk kali dia," ujar Sarah berubah acuh.

"Gak tau lah. Mudah-mudahan dia gak apa-apa,"

"Apa sih yang elo harepin dari dia, Ay..?" tanya Sarah gemas pada sepupunya yang selalu mencintai laki-laki bernama Ditya yang bahkan terlalu pengecut untuk menjalin hubungan dengan Aya.

"Maksudnya..?" tanya Aya tak mengerti.

"Denger ya.. Ditya itu cuman seorang pengecut yang gak berani ngmbil keputusan. Dia gak bisa donk gantungin elo kayak gini. Elo di sini setia nunggu dia bisa sepenuhnya nerima elo. Tapi dia..? Siapa yang jamin dia di sana gak ngapa-ngapain..? Apalagi status dia sama elo tuh gak jelas. Bisa aja saat ini dia lagi sama cewek. Elo tuh terlalu polos, Ay,," jelas Sarah panjang lebar.

Aya membisu. Tak membantah, tidak pula mengiyakan. Sekarang ia berfikir keras. Tiga bulan sudah ia jauh dari Ditya. Tapi kekhawatiran itu baru muncul saat ini. Saat ketika Ditya perlahan tak berkomunikasi dengannya sesering sebelumnya.

"Gue gak nyalahin elo kok, Ay," suara Sarah membuyarkan lamunan Aya. "Gue cuman gak pengen elo terlalu lemah, terlalu kebawa perasaan. Jatuh cinta itu bukan hanya seneng, tapi sedih juga bakal lo rasain. Kayak sekarang ini,"

Belum sempat menjawab, ponsel Aya berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang yang selama berjam-jam ia tunggu.

"Angkat aja. Tapi inget kata gue tadi," kata Sarah ketika Aya meliriknya, meminta pendapat.

"Halo," sapa Aya begitu ia menekan tombol hijau.

"Sayang, maaf yaaa.. Aku tadi sibuk banget, ini aja baru pulang," terdengar nada menyesal dari Ditya.

"Iya, gak apa-apa kok, Dit,," timpal Aya dingin. Banyak pertanyaan dan perkiraan berkecambuk dalam hati dan pikirannya. Dalam keadaan biasa ia akan mengomeli Ditya dengan kesal kemudian merajuk padanya.

Ditya mengerutkan keningnya. Heran dengan jawaban Aya yang begitu dingin. Padahal ia sudah bersiap menghadapi omelan Aya yang seharian ia abaikan.

"Kamu kenapa..? Marah yaa..?" tanya Ditya ragu-ragu. "Maaf, Sayang.. Aku beneran sibuk hari ini,"

"Gak apa-apa kok. Aku kan bukan siapa-siapanya kamu. Jadi aku gak berhak atas waktu kamu," balasnya dengan penuh penekanan.

"Lho, kok ngomongnya gitu..?" tanya Ditya masih mencoba sabar "Kamu kan tau kalo aku sayang sama kamu,"

Luka TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang