Power City, 2050
Kapan terakhir kali tepatnya manusia merasakan kedamaian?
Sudah 2 tahun sejak pertama kali televisi menyiarkan berita tentang mahluk cacat kanibal yang merajalela di bumi. Makin lama, populasi di dunia akhirnya berkurang. Satu per satu manusia saling menyerang, memakan satu sama lain, dan yang lainnya mati. Sisanya, termasuk aku, hidup di dalam bayang-bayang kematian.
Kukira, keputusanku untuk pergi ke kota ini adalah keputusan yang benar. Kini, bukannya aku hidup di dalam kebahagiaan, aku justru bersembunyi tiap waktu untuk bertahan hidup. Listrik tak berfungsi seperti seharusnya. Makanan juga terbatas. Kira-kira sudah enam bulan aku mendekam di apartment tempatku tinggal.
Dulu, sewaktu kecil, kukira bertahan hidup di tengah bencana ini menyenangkan. Sekarang aku merasakannya. Betapa mengerikannya ketika aku membuka jendela, yang kulihat adalah mayat hidup berjalan tak tentu arah untuk mencari santapan.
Terakhir kali informasi yang kudapat adalah bahwa wali kota dan keluarganya tewas bunuh diri. Awalnya kupikir itu adalah pilihan yang tepat daripada tidak bisa melakukan apa pun. Namun, setelah kulalui hari demi hari tanpa orang lain. Bunuh diri adalah keputusan bodoh yang pernah dilakukan.
Kita semua harus merasakan kesenangan ini.
Namaku Jay, wanita berusia 23 tahun yang hidup di tengah peradaban mayat hidup atau yang sudah dikenal sebagai zombie. Hidupku cukup menarik, ditambah dengan kenyataan ternyata aku sampai di kiamat zombie ini. Enam bulan di dalam ruangan ini tidak kusia-siakan begitu saja. Aku harus tetap hidup. Jadi, yang kulakukan tiap hari adalah belajar bagaimana aku bisa melawan mereka.
Ini senjata pertamaku. Sebuah pisau panjang yang kucuri dari lemari ayahku. Aku belum menggunakannya. Sekarang, aku berada di balkon, menatap lautan zombie yang berada lima lantai di bawahku. Mereka tidak bisa menggerakan kepala untuk menatapku yang berada di atas sini. Itu membantuku untuk mengetahui separah apa kondisi di bawah sana.
Hari ini, adalah hari terakhir aku tinggal di dalam tempat ini. Aku akan keluar, merasakan kesenangan yang sesungguhnya. Sebut saja aku gila. Aku memang gila, tapi aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku hanya untuk bersembunyi dan menonton kematian dari balik jendela. Aku akan pergi dan menghadapi semua yang terjadi. Jika aku mati di luar sana, kuharap aku mati dalam kondisi masih menjadi manusia.
7 a.m.
Aku mengemas ransel. Kebanyakan berisi makanan dan obat-obatan. Senjata yang kubawa seadanya. Semua benda yang bisa memukul dan tajam kubawa serta untuk bertualang. Semalaman aku berpikir, apakah aku akan keluar lewat tangga, atau meluncur dari balkon. Tampaknya keputusanku sangat fatal. Aku memilih meluncur melewati pipa besar yang memanjang di samping semua jendela apartment.
Dengan memakai pakaian panjang yang menutupi tangan dan kakiku, aku bersiap untuk pergi. Aku meraih pipa besar dengan tangan kanan sebelum kususul dengan kakiku. Dalam hati aku berharap agar mereka tak bisa melihatku di atas sini. Kulakukan dengan hati-hati berharap tidak mengeluarkan suara yang dapat mengundang perhatian mereka.
Aku meluncur ke bawah. Sepatuku berdecit, lalu menyenggol pot milik tetangga. Tentu saja muncul suara. Aku mengumpat, tapi aku tidak menyerah. Aku melompat ke balkon tetangga di lantai tiga. Mereka melihatku. Dengan cepat satu per satu dari mereka merespons, berkumpul di lantai tepat di bawahku. Bergerombol mencoba meraihku yang berada di lantai tiga. Untungnya tiap-tiap balkon di gedung ini tertutup rapat. Mereka semua sudah mati.
Aku menarik napas. Melempar semua barang-barang besar yang dapat menghancurkan kepala mereka. Tidak membunuh banyak zombie, tapi setidaknya mereka berkurang sebelum aku kembali meluncur. Lima menit. Aku menunggu lima menit agar mereka berhenti meraih dan mengerang. Lalu aku kembali memeluk pipa besar yang sama, meluncur ke lantai berikutnya, lalu aku tidak bisa berhenti.
Sial! Keparat!
Sepatu ini tidak membantu. Aku memijak ke tanah. Ada pagar di antara lantai dasar dengan luar gedung. Tapi pagar itu juga tidak membantu. Aku berlari, menyusuri sepanjang pagar. Mereka sangat dekat. Sepertinya beberapa dari mereka berhasil menyentuhku. Aku menghunus pisau panjang yang kuselipkan di sepatu bootsku. Kulayangkan pisau dengan cepat, merobek bagian kulit leher mereka.
Aku terus berlari sampai pagar telah habis. Kali ini aku terpaku. Pisau di tangan kanan kugenggam erat-erat. Kuharap mereka tidak bisa berlari. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana mobilku terparkir. Seingatku aku meletakkan Bambi, nama mobilku, tak jauh dari gedung tempatku tinggal.
Aku berjalan pelan, bersembunyi di balik mobil-mobil yang tak ada pemiliknya lagi. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Aku menemukan Bambi. Mobil gagah kesayanganku yang berhasil bertahan hidup selama enam bulan di tempatnya sekarang berada. Aku berlari kecil, menghampiri Bambi dengan cepat, dan segera masuk ke dalam untuk pergi dari tempat ini.
Mesin menyala, mereka mulai menaruh perhatian ke arah Bambi. Aku menginjak pedal gas dengan cepat dan mengendarai Bambi terburu-buru. Aku melewati mereka, melindas beberapa, dan sepertinya melukai sisanya. Untunglah bahan bakar Bambi masih penuh, secara aku tidak menggunakannya selama enam bulan. Pintu gerbang utama tertutup, aku bersiap membukanya dengan paksa.
Satu, dua, tiga!
Bambi sedikit melompat, gerbang hancur, dan aku akhirnya keluar dari tempat itu. Aku menelusuri jalan, aku akan ke tengah kota. Mencari tempat yang lebih aman atau mencari kematian yang tenang. Bambi melaju lebih kencang, para zombie terdistraksi dengan suara Bambi, jadi mereka mengikutiku.
Perjalanan menempuh waktu yang cukup panjang. Aku berhenti di sebuah minimarket. Minimarket yang kini sudah rusak dan tampak mengerikan. Aku memutuskan masuk ke dalam untuk mengambil beberapa hal penting. Semoga saja tidak ada satu zombie pun di dalam sana.
Aku mengendap seperti pencuri yang hendak merampas isi rumah tetangga. Aku menuju ke beberapa bilik makanan. Cukup banyak. Aku mengambil beberapa, terutama air. Setelah kurasa cukup. Aku berbalik, mahluk bermata merah membuka mulut, mengerang tepat di hadapanku.
Basstt!
Dengan sekali tebas, kepalanya menggelinding jauh. Aku menghela napas. Kembali melangkah dan terdiam beberapa detik setelahnya. Mereka berada di hadapanku. Mengerikan, menjijikkan, dan sialnya aku tak bisa berkutik lagi. Aku melangkah mundur, kuharap mereka tidak muncul di sisi yang lain.
Aku menusuk beberapa di antara mereka tepat di leher. Katanya, kelemahan mereka itu di kepala. Aku tidak seberani itu untuk menebas kepala mereka, jadi lebih baik kupatahkan lehernya. Aku terus melangkah mundur, memijak debu dan benda-benda yang jatuh ke lantai.
Brak!!
Sebuah rak jatuh tepat di hadapanku, menghimpit kedua kakiku. Aku panik. Aku menggigit bibir bawah. Mereka menginjak rak yang di bawahnya terdapat kakiku. Tampaknya mereka menggila. Aku menendang, berupaya meloloskan kaki. Aku merobek kulit mereka, menusuk mata mereka. Namun mereka tak ada habisnya. Mereka terus bermunculan dan makin mendekatiku.
Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa keputusan yang kubuat kali ini, salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEEP SCREAMING
Mystery / Thriller[𝐙𝐎𝐌𝐁𝐈𝐄 𝐀𝐏𝐎𝐂𝐀𝐋𝐘𝐏𝐒𝐄] 𝙏𝙝𝙚 𝙬𝙤𝙧𝙡𝙙 𝙞𝙨 𝙚𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜, 𝙘𝙖𝙣 𝙮𝙤𝙪 𝙨𝙪𝙧𝙫𝙞𝙫𝙚? Akhir dunia akhirnya menunjukkan tanda-tanda. Mahluk kanibal bermata merah muncul ke bumi, memporak-porandakan Power City dan seisinya. Mereka yan...