4. Warning

9 1 0
                                    

"Jadi, ceritakan apa yang terjadi denganmu!"

Aku duduk di samping Brandon. Hari sudah pagi, namun yang kutemui pagi ini hanya Brandon. Aku tak menemukan yang lainnya. Makanan dan air sudah dibagikan ke beberapa penduduk. Aku menanyakan di mana mereka semua, namun Brandon mengatakan bahwa ia juga tidak mengetahui ke mana perginya mereka.

Seperti biasa, pagi pun terasa sangat panas. Meski sudah terbiasa melewatinya, kondisi ini semakin parah tiap waktu. Beberapa penduduk mulai bosan dan marah, mereka tidak ingin hidup seperti ini lebih lama lagi. Aku tak memiliki kuasa apa pun untuk menghentikan mereka, yang kubisa hanya mengatakan bahwa aku juga ingin melewati kondisi sekarang ini.

"Entahlah, aku sudah lupa seluruh ceritanya. Aku hanya ingat bahwa saat itu aku dan Daniel sedang latihan bersama, lalu ibuku menelepon beberapa detik kemudian telepon mati. Aku cemas, aku memaksa Daniel untuk pergi bersamaku ke rumah. Kemudian, semua sudah terjadi. Aku bertemu Clint di depan rumahku, ia menghabisi semua zombie yang berkumpul di sekitar rumah. Aku masuk dan kudapati ibuku sudah mati." Brandon menggenggam sebuah foto yang sudah lecek, terdapat wajah ibu dan dirinya sedang tersenyum menghadap kamera.

Aku terdiam. Kisah ini menyedihkan. Brandon bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal. "Maaf," ucapku pelan. Kulihat Brandon tertawa kecil, "Oh come on! Itu sudah satu tahun yang lalu." Brandon menepuk pundakku pelan, "Tidak masalah, Jay, sepertinya Sein sudah kembali."

Aku berdiri bersamaan dengan Brandon. Kami melangkah menyusuri lorong dan masuk ke ruang meeting. Sein berada di dalam, menatap revolvernya yang terletak di atas meja. Ia benar-benar fokus sampai tak menyadari kedatangan kami. "Sein." Brandon memanggilnya, berjalan ke arah jendela yang terbuka.

"Aku lelah." Sein mengeluarkan suara. Aku masih berdiri di tempatku, menatap ke arah mereka berdua yang tampak berbeda hari ini. "Benar-benar lelah dengan keadaan ini!" Sein mengangkat revolver dan menodongkannya ke arahku. Tentu saja aku terkejut, aku mematung, menelan ludah, dan terus menatapnya.

"SEIN!!" Brandon berseru, menatap Sein marah. "Apa yang kaulakukan?" Seseorang di belakangku bersuara, ia berjalan pelan, kemudian berdiri di depanku. Itu Sebastian. Ia menatap Sein dingin. "Kau sudah gila?" Sebastian menyuruhku mundur perlahan. "Menyingkirlah, Sebastian. Aku tidak akan meledakkan kepalamu hanya karena kau melindungi wanita itu," ucap Sein, kali ini ia mengaktifkan pelatuknya.

Aku tak mengerti situasi yang baru kuhadapi. Sein menodongkan revolver, Sebastian melindungiku, dan Brandon berdiri di samping Sein dengan wajah marah. "Berhenti bersikap seolah hanya kau yang muak dengan keadaan ini! Kita semua menghadapi masalah yang sama, kau tahu?" Sebastian berucap. Kita semua menghadapi masalah yang sama. Aku pun perlahan mulai menyesali kepergianku dari apartment. Tapi kurasa tetap berada di dalam apartment juga bukan hal yang bagus.

"Sein? Kau mau membunuh Jay?" Xavier muncul dari pintu. Ia membawa senjatanya ke dalam ruangan dan menatap Sein bingung. Ia kemudian menatap Sebastian, lalu Sebastian mengangguk. Xavier menggeleng, lalu menghela napas panjang. "Satu-satunya orang gila yang tidak pantas diselamatkan itu kau, Sein." Mendengar ucapan Xavier, Sein perlahan menurunkan tangannya. Sebastian dan Brandon tampak lega. "Kau bahkan jauh lebih mengerikan dari mahluk di luar sana," lanjut Xavier kemudian menarikku keluar dari ruang meeting.

Aku masih tidak bisa berkata-kata. Aku menahan napas saat kutahu Sein berniat membunuhku. Hal yang barusan terjadi benar-benar di luar ekspektasiku. Kukira Sein baik-baik saja. Xavier membawaku ke gudang, berbagai peralatan, seperti kayu, dan beberapa senjata kecil terletak di sana. Xavier menggantung trackingpoint-nya ke pundak. "Kau baik-baik saja?" Ia bertanya kepadaku. Aku mengangguk, "Berkat kalian, terima kasih." Xavier menarik napas panjang. "Huh, sudah kuduga hal seperti ini akan terjadi. Sein itu diam-diam mengerikan." Aku memiringkan kepala, "Kau bisa menjelaskannya?" tanyaku bingung.

DEEP SCREAMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang