"Sampai jumpa Dray." Tangan lembut Harry membelai pipi Draco.
Cup, Harry mengecup pipi kanan Draco.
Cup, pipi kiri pun tidak lupa dia sapa, dan
Cup, kecupan manis tepat di bibir Draco.
"Sampai jumpa lagi nanti malam." Dia melepaskan tangannya yang masih setia bertengger di pipi si pirang tak selang beberapa lama, kecupan kupu-kupu kembali dia layangkan pada Draco yang dia aku sebagai kekasihnya yang membuat Draco tersenyum miris.
Harry melambaikan tangannya dan melangkahkan kaki-kaki jenjangnya menjauh dari posisi Draco berdiri. Keduanya berpisah di lorong, kelas keduanya berbeda, mulai dari siang hari hingga malam menjemput.
Draco masih setia berdiri di posisi yang sama, dia tertawa miris, kondisi ini seakan memberikannya gambaran di hari ketika Harry menjauh darinya, hanya saja ada yang berbeda. Ketika hari itu tiba tidak akan ada kata cinta yang keluar dari mulut Harry, tidak akan ada lagi belaian halus di pipinya yang kian hari kian tirus, tidak akan ada lagi senyuman manis yang ditujukan padanya, tidak akan ada lagi lambaian, dan ucapan sampai berjumpa lagi.
Psikisnya kian terpuruk, rasa bersalah kian menumpuk. Draco kini masuk dalam jurang tak berdasar yang dipenuhi rasa bersalah dan ketakutan tak berujung.
Masih sudikah Harry menerimanya nanti? Saat Harry meneguk penawar ramuan cintanya, sudikah Harry memaafkan segala kesalahannya, kesombongan, dan tingkah bajingan nya?
Sudut matanya mengeluarkan air mata tanpa bisa dia bendung. Tidak ada kah satu orang pun di Hogwarts yang menyadari kesakitan hatinya? Draco benci dirinya yang cengeng, tapi dia butuh seseorang untuk mengulurkan tangan dan memberikannya dukungan moral.
Sekelebat bayangan orang tuanya muncul. Akankah Lucius mengutuknya karena Draco yang mengeluarkan air mata? Atau kemungkinan terburuk, Draco dicoret dari daftar warisan saat ayahnya yang notabene adalah seorang mantan Death Eater dan sangat menginginkan Harry mati mengetahui rasa cinta tak terbalasnya pada Harry.
Kapan dunia akan mengerti dirinya? Akan mengerti deritanya?
Draco mengusap air mata yang masih meluncur deras dari sudut matanya. 'Kau bisa Dragon, hanya sebentar lagi.' Draco mencoba menguatkan dirinya sendiri. Apakah semua orang disini terlalu buta?
Dengan penuh kegetiran Draco mencoba membawa tubuhnya di sisi lain lorong yang sepi, menyandarkan punggung yang terlihat kokoh.
Demi apa pun Draco tidak akan pernah melepaskan Harry, Draco bersumpah dengan sihirnya. Semuanya tidak akan pernah menggantikan Harry yang bertahta paling tinggi dalam hatinya. Tapi sudikah Harry membalas cintanya?
***
"Drake kau terlihat sangat frustasi." Dasar Theo, tidak peka dengan atmosfir kelam yang menyelimuti tubuh Draco.
"Apa sangat terlihat sangat jelas?" Entah mengapa Draco ingin terkekeh sinis.
"Jika kau ingin kejujuran maka, ya. Kau terlihat seperti orang yang terdampar di Azkaban selama 2 tahun." Mulut pedas! Theo yang kebetulan berada di samping Blaise langsung memukul kepala laki-laki keturunan Zabini itu. "Mulutmu Blaise!" Theo berbisik kecil.
"Aku merasa bersalah." Draco menjawab. Kepala yang selalu dia angkat tinggi-tinggi kini tertunduk dalam.
"Aku memberi Harry Amortentia."
"Dan kini akau sadar akan kesadaran ku juga berencana untuk memberikan penawarnya satu minggu lagi, bertepatan di hari aku memberikan ramuan cinta pada Harry. Jadi bagaimana menurut kalian?" Suara Draco sangat lirih sangat berbeda dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Love Potion (Revisi)
FanfictionDraco sudah sampai pada limitnya, dia benar-benar dibuat pusing bukan kepalang oleh obsesi rahasianya. Obsesinya, obsesi tentang si rambut sarang burung bermanik hijau sewarna kutukan pembunuh. Draco selalu dibuat mabuk kepayang kala keduanya bersit...