Kini, aku menikmati sepi dan dingin malam bersama teman setiaku—buku. Tepat di pojok kamar, meja lesehan dengan warna klasik mengisi kekosongan itu. Hal yang lazim bagiku, 'Catatan Chayra' adalah nama spot pojok kamar ini. Sudah berapa banyak note yang kutempelkan pada dinding itu. Sejurus kemudian, langkah tanganku mengarah pada buku. Aku membuka dan menorehkan kata asing atau sekedar mencoret kata yang tidak jelas. Semakin lalu, semilir angin silih berganti menyapa tak membuat mata ini mengantuk. Wajar saja, waktu baru menunjukkan pukul delapan malam.
Sedikit bercerita, ini kisah konyol sepertinya. Ada yang bilang, aku ini kuno. Seperti anak jadul yang masih menggunakan buku. Ya semacam menulis diary. Tapi, menurutku itu lebih baik daripada curhat tidak jelas di media sosial dan setelah menimbang-nimbang, memangnya kenapa? Toh tidak menjadi masalah, kan. Duniaku seperti ini, ya, sudah. Nikmatilah.
Hari ini aku menghabiskan banyak waktu di dalam kamar. Kau tahu? Takut, satu hal yang membuatku mengurungkan niat keluar kamar. Mungkin berteman dengan buku dan catatan adalah sesuatu yang selalu hadir dalam ingatanku.
BRAK!
Suara gebrakan pintu memecahkan keheninganku dalam kamar bernuansa biru. Sudah kuduga, itu adalah Papa. Entah kenapa, papa melakukan itu. Tapi yang kutahu, ini pasti tentang nilai raporku.
"CHAYRA!!" Papa berteriak kencang, sontak tubuhku membeku dan membuat kaki dan tangan ini bergetar hebat.
Seperkian menit aku berdiri lemas serta tubuh yang kian bergetar. Kulihat sekeliling kamar yang cukup gelap membuat nyaliku menjadi ciut seketika. Langkah mantap, Papa berjalan semakin dekat.
"APA INI?! DUA NILAI RAPOR KAMU TIDAK MENCAPAI KKM!" Pernyataan tegas Papa memenuhi indra pendengaranku. Ini murni bukan hanya kesalahanku, ini takdir. Kenapa dan mengapa Papa harus bersikap seperti itu?
"Maaf, Pa. Chayra udah belajar, kok. Chayra udah berusaha dan berdo'a. Kalau hasilnya memang seperti itu, ya, sudah. Bukan salah Chayra, Pa," ucapku sedikit ceriwis sambil menundukkan kepala. Tak lama, kuberanikan mengangkat kepala perlahan. Kulihat Mama yang berada sedikit di belakang Papa hanya menatap sendu. Kalau sudah seperti ini, kuyakin sulit bagi Mama untuk melunakkan kembali hati Papa.
"Apa lagi ini. Nilai agama kamu sangat-sangat buruk, Chayra! Nggak ngerti Papa sama kamu itu!"
Papa kenapa sih. Cuma gara-gara nilai sampe marah begini. Gerutuku dalam hati.
"JAWAB PAPA, CHAYRA!"
"Kenapa, sih, Pa? Chayra harus gimana? Berusaha, belajar, berdo'a, semua udah Chayra lakuin, Pa!" Aku memberanikan diri untuk bicara tinggi di depan Papa. Biar saja, aku sendiri muak dengan sikap Papa yang terlalu mengekang.
Dalam hati, aku sering beradu pikir. Ini salah siapa? Apa salah aku? Apa Papa patut semarah itu denganku?
"Begini jadinya kamu, selalu saja membantah. Apa dengan Papa membebaskanmu untuk tidak masuk pesantren, kamu bisa semakin bebas? Ingat Chayra, Papa nggak akan biarin kamu menjadi semakin buruk lagi!"
Papa benar. Menginjak Sekolah Menengah Atas (SMA), aku menolak untuk sekolah di pesantren. Karena bagiku, sekolah di mana saja itu tidak beda jauh. Aku benar, kan?
"Pa! Chayra tau, kok. Chayra tahu Papa begini demi kebaikan. Tapi cara Papa salah, Papa selalu ngekang Chayra, bentak-bentak, apa lagi nanti, Pa?" tanyaku menantang. Aku ingin tahu, seberapa jauh Papa meladeniku.
Kening Papa membentuk lekuk kerutan. Selangkah lebih maju dari sebelumnya, aku dan Papa berada begitu dekat. "Kamu ini keras kepala sekali!" Nafas Papa semakin menderu. Sudah kupastikan Papa akan semakin marah menjadi-jadi. "Sekali lagi kamu membantah, maka Papa akan ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Chayra
Teen FictionAksara terus menari kala malam hari, catatan kecil yang selalu Chayra tulis. Terukir indah pada dinding kamar kesayangannya. Tentang Chayra. Gadis dengan sifat cerewet dan keras kepala itu sukses membuat sosok Fatih benar mencintainya. Tentu, mencin...