Suasana temaram menyambut kedatanganku di gerbang desa. Aroma pohon pinus dan suara jangkrik berpadu seperti melodi yang memabukkan panca indra. Melangkah mengikuti petunjuk yang diberikan oleh nenek.
Sebenarnya, nenek tidak mengizinkan aku datang ke tempat ini, menemui satu-satunya saudariku yang lain bapak. Ibu menikah saat usiaku delapan tahun, beliau mengikuti suaminya ke desa ini. Memilih hidup sebagai ibu rumah tangga meninggalkan kemapanan yang sudah memanjakannya sejak sebelum dilahirkan.
Ibu menjanda karena takdir Tuhan sebenarnya bukan menjanda sebab ibuku tidak pernah menikah.
Ya, aku dilahirkan di luar ikatan pernikahan. Status jelas sebagai anak ibu dan bapak tetapi tidak ada nama bapak yang tercantum dalam akta kelahiranku.
Katanya, bapak meninggalkan ibu yang sedang mengandung diriku, pergi begitu saja tanpa kabar berita.
Beruntung ia memiliki kedua orang tua yang mapan sehingga meskipun usianya kala itu masih 18 tahun saat mengandung, beliau tidak merasa kekurangan apa pun. Saat aku dilahirkan, pun aku tak kekurangan kasih sayang dan harta. Semua berlimpah ruah hingga di usia kedelapan ibu pamit untuk pergi bersama lelakinya.
Ayah tiri. Dia membawa seluruh cinta ibuku, mendekap wanita yang sudah melahirkanku ke dunia dalam kehidupannya yang sederhana.
Cinta memang mengalahkan segalanya dan memabukkan bagi siapa saja yang menjadi pecandunya.
Kini, saat usiaku genap 20 tahun dan ketika keinginan untuk menikah datang, aku pun harus datang ke tempat ini.
Desa yang sudah membuat aku dan ibuku berjarak ribuan kilometer.
Melangkah pelan kususuri jalan setapak, di sisi kanan kiriku hanya semak belukar setinggi lutut. Ada lampu-lampu yang menerangi bersama dengan rembulan aku pun melanjutkan langkah.
Di hadapanku berdiri rumah sederhana, dengan halaman depan yang luas. Sangat luas.
Di sisi kanan terdapat pohon tinggi menjulang dan kurasa aroma daun buah kedondong yang memberiku petunjuk kalau pohon setinggi dua meter itu pohon buah yang memiliki rasa asam.
Di depan sana. Tepat sepuluh langkah, tebakku, terdapat hamparan bunga beraneka warna yang entah bunga mana beraroma harum sekali. Seperti bunga melati tetapi jauh lebih wangi lagi.Mereka, maksudku tumbuhan yang kira-kira setinggi betisku itu berjajar rapi bersandar pada tembok sebatas pinggang.
Ah, aku belum mengatakan kalau tinggi badanku sekitar 154 sentimeter. Pendek untuk seukuran wanita dewasa karena teman-temanku jauh lebih tinggi dibandingkan diriku.
Menghela napas panjang, aku mulai menghitung tiga lambat-lambat. Tidak bisa kupungkiri kalau di dalam dada ada sebuah rasa yang menyesakkan.
Bayangkan, semenjak kecil dirimu sudah ditinggalkan, memberi kabar bila lebaran tiba saja, jika tidak maka aku tak tahu apakah ibuku masih diberi umur panjang.
Debaran di jantung membuatku tersadar, waktu kami yang delapan tahun begitu singkat dijalani.
Saat aku naik kelas, bukan ibu yang akan mencium kedua pipiku sebagai tanda bahwa ia bangga dengan prestasi putri tercinta.
Atau ketika aku mendapatkan periode menstruasi pertama kalinya, saat celana dalamku basah dengan warna merah, membuatku terkejut, takut dan bingung dalam waktu bersamaan.
Bukan ibu yang mengetahuinya pertama kali melainkan Bu Guru.Siapa yang mengajariku memakai pembalut? Aku belajar melalui you tube, bagaimana perasaanku ketika perutku melilit dan harus terbaring di ruang UKS, hampir tak sadarkan diri karena mengalami pre menstruasi syndrom? Ibu tak pernah tahu.
Aku tidak pernah merasa iri dengan kehadiran orang tua wali murid yang lain setiap akhir tahun.
Aku tidak merasakan kehilangan sewaktu memandangi ayah dan ibu teman-temanku memeluk mereka penuh kasih saat turun dari bus pariwisata.
Tidak.
Aku tidak iri.
Sebab aku tahu, cukup delapan tahun waktu yang sudah kami lewati bersama, kurasa kenangan itu telah menyembunyikan rasa sepiku di sisa usiaku.