Home Alone 2

192 4 0
                                    

"Datanglah, mendekatlah, dan peluk aku."

Duduk di pojok ruangan. Alaia menatap pemandangan mengerikan di depan sana. Kepada ibu bapaknya yang sedang bertengkar. Saling berteriak, menuding dan jeritan ibunya saat bapak memukul pipi kanan ibunya menjadi akhir adegan tersebut.

Alaia mendekati ibunya dan memberikan segelas air mineral. Bukan menerima pemberian Alaia, ibunya justru menampik. Suara pecahan gelas membentur lantai memecah keheningan. Alaia menelan ludah kelat. Dia menoleh sejenak pada pecahan gelas lalu mengalihkan pandangannya kepada wanita bertubuh kurus yang sudah melahirkannya delapan tahun lalu. Alaia tetap diam. Dia mengunci mulutnya agar tidak bertanya. Mengapa, dia tidak pernah terlihat di mata kedua orang tuanya?

Berbalik badan. Alaia pergi ke kamar, mengambil tas lantas kembali kepada ibunya. Alaia meminta tangan ibunya. Namun, lagi-lagi dia tak mendapatkan respon. Ibunya mendiamkannya. Lagi. Selalu seperti ini.

Alaia sampai di sekolah. Dia mendengarkan penjelasan gurunya dengan sikap tenang. Menyimak baik-baik apa yang wanita bertubuh tambun itu jelaskan. Tentang rantai makanan.

Riuh suasana kelas kala pergantian jam pelajaran tak mengusik seorang remaja. Itu Sakia, sahabat Alaia semenjak masih TK. Biasanya mereka akan berbincang-bincang tetapi hari ini Sakia tampak enggan menoleh kepadanya. Mungkin dia sedang mengantuk. Sakia itu kalau malam hari senang sekali meluangkan waktu untuk membantu ayah dan ibunya berjualan. Kadangkala Alaia ikut membantu dan setiap kali pulang, ibu dan ayah Sakia seringkali memberinya kue atau mi instan.

Alaia menghela napas panjang. Menyingsingkan lengan panjangnya, Alaia hanya mampu mendesah kala mendapati lebam di sekitar pergelangan sampai ke siku. Alaia lupa kapan dia mendapatkan luka-luka ini sebab  dia merasa tak ke manapun.

Seharian kemarin dari pagi sampai menjelang senja dia berada di luar rumah. Ada beberapa anak tetangga yang memintanya mengajar membaca dan jiwa pendidik dalam darah Alaia seolah menemukan muaranya. Alaia suka sekali membagi ilmu dengan anak-anak di sekitar lingkungan rumahnya.

Suara heels mengetuk keramik kelas. Alaia segera merapikan lengannya lalu memusatkan atensi pada bu guru.

Siang ini diakhiri dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Usai bel pulang berbunyi nyaring, para siswa pun bergegas merapikan buku mereka pun dengannya, tetapi Alaia dibuat melongo kala mendapatkan sebuah coretan pada bangku miliknya.

Gama. I love you.

Gama? Gama Raspati. Oh, lelaki yang menjadi cinta pertama Alaia. Gadis itu mengusap permukaan meja yang terdapat ukiran nama lelaki itu.

Namun, usapan tangannya tak berlangsung lama karena setelahnya dia mendengar jerit Sakia. Mendongak, Alaia menatap ke sekeliling.

Bukankah ini perpustakaan?

Dia berada di depan sepasang remaja. Sakia dan Gama.

"Ha--"

Sapanya terpotong saat Sakia menunjuk dada Gama dengan ekspresi kaku. "Sebaiknya lo enyah dari sini!"

"Kenapa? Lo takut semua kebongkar, hah?!"

Alaia berjengit mendengar teriakan Gama. Lelaki yang selalu menatapnya tak kalah ramah seperti saat Sakia memandanginya.

Gama tak pernah kasar, bahkan mungkin untuk membunuh seekor nyamuk pun dia takkan sanggup, tapi kini .....

"Gue cuma minta lo gertak dia! Tapi lo dan para bajingan itu justru berbuat lebih!" Dengan mata melotot dan aura gelap memayungi keduanya, Sakia tampak tak gentar.

Suasana cukup sepi. Mungkin karena sudah jam pulang sekolah. Alaia hendak menghentikan pertengkaran keduanya. Dia melangkah mendekat. "Hey, jangan berkelahi!"

Namun, langkahnya tertahan saat cahaya tiba-tiba saja datang menyergap retinanya. Membuatnya mengerjap. Silau.

"Kenapa?"

"Karena harus." Lelaki itu menoleh ke belakang dan seperti memberi aba-aba, dua lelaki lainnya datang mendekat. "Pegangi tangan dan kakinya!"

Mata Alaia memelotot tak percaya. "Jan--"

"Psst, cuma sakit sedikit."

Dan perkosaan itu terjadi begitu saja. Tidak hanya tubuhnya yang lecet tapi juga hatinya.

"Lo bakal senang dengan kerjaan kita, Kia. Dan jangan lupa janjimu, tepati segera!"

Lelaki itu yang wajahnya tak tampak karena gelap menyelimuti, lantas Alaia membeliak kala melihat siapa yang membungkuk dan mengusap pipi Alaia dengan tatapan menjijikkan. "Thanks buat malam ini."

"Bajingan!" Alaia meludahi wajah lelaki itu membuatnya geram dan marah.

"Jalang!" Jemari itu menyentuh leher Alaia. Menekan perlahan, membuat Alaia kehabisan napas. "Gue suka sama lo, Alaia, tapi saat Om Restu nyium lo waktu itu. Lo nggak lebih dari seorang jalang! Lo-pantas-mati!"

"Gama, ayo!"

Lebur sudah jiwa Alaia. Gama. Gama Raspati, lelaki baik dan sopan yang ternyata tak lebih dari seorang bedebah, sudah membuat hidupnya hancur.

Membuka mata, Alaia menemukan ibunya sedang duduk menghadap ke jendela. Dengan tatapan kosong. Mungkin karena habis bertengkar dengan ayahnya. Mereka sering ribut, tapi seingat Alaia tak pernah membuat ibunya tampak mengenaskan seperti ini.

Alaia ingin mendekat. Namun, segera ia urungkan. Dia harus ke sebuah tempat. Berlari keluar rumah, Alaia menaiki angkot dan segera menuju ke rumah Sakia.

Sakia. Gama.

Kedua sahabat yang ternyata sudah membuatnya hancur itu harus mendapatkan balasannya. Begitu sampai di rumah Sakia. Alaia bergegas masuk.

"Sakia!"

Yang dipanggil tersentak. Wajah gadis itu pucat dan tatapan matanya bergerak gelisah. "Alaia?!" Sapa itu serupa bisik penuh ketakutan. Tapi Alaia tak peduli. Dia ingin sebuah keadilan. "Apa yang lo lakuin sama gue!? Kenapa harus gue!?"

"Sori, Alaia. Sori, sori ...." Sakia tertunduk dan mengusap wajahnya dengan gerakan kasar.

"Setelah semua yang gue lakuin, Sakia?" tanya Alaia dengan tatapan mengiba. Dia jatuh terduduk. Habis sudah tenaganya setelah melihat segalanya.

Flashback.

"Ini apa?" tanya Sakia saat mendapati Alaia sedang sibuk menyimpan beberapa file video dan foto.

"Ini bukti Pak Rudi melakukan tindakan nggak bermoral. Gue harus laporin dia ke pihak berwajib, Kia," ujar Alaia tanpa memperhatikan tatapan terkejut sahabatnya.

"Jangan! Ah, maksud gue lebih baik jangan ikut campur apalagi kita cuma siswa di sini. Nggak bakal menang dengan hanya memberi bukti seperti ini. Mereka kaya dan berkuasa, Alaia."

Menggeleng, Alaia memberi senyum menenangkan. "Kalau nggak dilaporin, akan banyak korban lainnya yang berjatuhan. Cukup tiga teman kita yang berakhir depresi karena dilecehkan, Kia. Jangan sampai ada korban lagi."

"Berikan sama gue!"

Kening Alaia berkerut dalam mendengar bentakan Sakia. "Kia ...."

"So...sori, nanti malam kebetulan gue mau ke rumah Paman gue yang di kota. Lo tahu kan kalau Paman gue polisi?"

Tersenyum semringah, Alaia mengangguk. "Jadi, lo mau bantu gue dengan nyerahin bukti ini ke Paman Restu?"

Mengangguk, Sakia mengulurkan tangannya, meminta bukti itu dari sahabatnya. Setelah Alaia pulang, Sakia segera menghubungi Gama dan mengatakan kalau Gama harus membantunya.

"Gue bakal jadi boneka lo selama kita masih bersekolah di tempat yang sama. Asal beresin Alaia." Sakia menatap flashdisk dalam genggaman. Di dalam sini tidak hanya ada tiga korban yang kebetulan tampak terlihat karena di video entah yang ke berapa, ada dirinya dan Pak Rudi saling memadu kasih. "Bila flashdisk ini jatuh ke tangan yang salah, nggak hanya dia yang terlibat masalah, Alaia, tapi juga gue," gumam Sakia sembari meremas benda kecil dalam genggaman. "Lo sahabat gue, Alaia, tapi Mas Rudi, dia ayah dari bayi gue," bisik Sakia sembari menahan tangis.

***

Mahar

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

home aloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang