1

181 17 8
                                    

Minggu pagi, hampir sempurna dengan beberapa lumpia di meja dan playlist andalan yang di dominasi dengan lagu Sheila On 7. Mata saya menatap kearah Bapak yang tengah mengotak atik sepeda tuanya di teras. Sepeda yang sewaktu SD sering sekali mogok saat di gunakan untuk mengantarkan saya ke sekolah.

Sedikit tentang keluarga saya, saya tinggal bersama Bapak. Hanya berdua. Ibu dan Bapak berpisah waktu saya SMP kelas akhir. Untuk anak usia 15 tahun harus mendengar orang tuanya beradu mulut hampir tiap hari rasa rasanya mau depresi. Bingung, kesal, campur jadi satu.

"Ibumu sudah lama nggak suka Bapak, Ndra," Begitu kira-kira kalimat yang di ucap Bapak pada malam saat saya menangis di kamar selepas mereka bertengkar. Sesak sekali rasanya.

Lalu, baru-baru ini saya dengar Ibu sudah punya pacar baru. Biarlah kata Bapak. Itulah kenapa saya tidak memilih tinggal bersama Ibu dan ikut Bapak.

Ibu berjiwa belia, sifatnya masih labil. Cara berpakaiannya pun lebih nyentrik dari saya yang anak muda. Entahlah, mungkin karna perbedaan umur Ibu dan Bapak yang bisa di bilang jauh. Namun biar begitu pun dia tetap Ibu saya, yang membuat Agustus mau menyimpan hari kelahiran saya dengan apik.

"Ibumu nggak pernah telpon?" Suara berat Bapak membuyarkan lamunan. Bapak masih berkutik dengan obeng dan olinya sembari melirik ke arah saya sebentar.

"Pernah, tapi udah lama," Jawab saya.

Benar. Sudah dari beberapa bulan yang lalu. Setelah Ibu dan Bapak resmi bercerai hingga sekarang, Ibu cuma pernah menelpon dua kali. Selepasnya tidak lagi. Telpon pun yang di tanyakan tidak jelas.

"Mungkin Ibumu sibuk kerja, kan sekarang sudah tinggal sendiri. Nggak sama suami lagi yang bisa carikan nafkah," Sambung Bapak.

Saya cuma mematung. Lagu yang saya putar masih menyala namun dengan volume rendah. Lumpia di meja tinggal dua setengah potong dengan sedikit sambal di sampingnya. Menunjukkan bagaimana saya yang teramat suka pedas, turunan dari Ibu.

Bapak tidak memegang ponsel. Tak paham katanya. Karna itu ia sering menanyakan bagaimana kabar Ibu kepada saya. Ah, sering sekali saya iri dengan kelapangan hati Bapak bagaimana ia masih menghawatirkan kondisi Ibu saat hujan deras seperti : Coba SMS ibumu sudah pulang atau belum, suruh hati-hati. Hujan angin. Dan kembali lagi membuat saya mengingat bagaimana Ibu dengan teganya menghianati Bapak dengan teman satu kerjanya.

Benar. Ibu dulu yang menyulut api, sedang Bapak mencoba mengguyurnya dengan air. Namun sedewasa apapun mereka, mereka tetaplah manusia. Hatinya masih bisa luka. Begitupun Bapak, jua saya.

Ting!

Suara notifikasi Whatsapp. Musik yang saya putar berhenti sebentar lalu menyala kembali.

An: Ndra, jangan lupaaaaaaa

Saya tersenyum sekilas. Bak orang gila yang dimabuk cinta, menilik layar ponsel bermerek Oppo di tangan sambil mengulas senyuman.

Ah, itu dari Anggit. Si Manis yang makin manis kalau sedang merajuk. Suka sekali mengikat rambut sebahunya kebelakang walau saya pernah bilang lebih cantik di gerai saja. Bagaimana angin meniupi surai legamnya dan membuat gadis itu merengut kesal membuat saya gemas. Kami seumuran, namun bersama Anggit membuat saya ingin menjaganya bak yang jauh lebih tua dan dewasa.

Anggit Athanasia, cinta pertama saya di tahun tahun pertama remaja.

©tokyoarchives, 2021

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," Suara wanita paruh baya yang jelas sekali saya tahu itu siapa. Ibunya Anggit. Cantik selayaknya sang putri. Anggit benar benar campuran yang sempurna dari Ayah dan Ibunya.

"Chandra duduk dulu sini nak, Anggitnya bentar lagi selesai," Sambut Bu Asih. Hangat seperti biasa.

"BU! JAKETKU IBU TARUH MANA!" Sayup sayup saya dengar teriakan Anggit dari dalam. Bu Asih menggeleng kepala dan segera meninggalkan saya untuk mengurusi putri semata wayangnya.

Saya cuma tersenyum. Mengulas kembali kejadian saat kami baru saja masuk SMA, saat Masa Orientasi Siswa hari ke tiga. Hari itu beberapa kakak kelas laki-laki mengganggu Anggit karna roknya kependekan. Maklum, rok SMP sebab seragam SMA masih di tangan tukang jahit.

Anggit tidak pernah mengadu pada saya, saya melihatnya sendiri. Benar benar sesuatu yang berhasil membuat saya naik pitam. Lalu dengan bekal nekat dan amarah, saya datangi gerombolan tersebut dan bilang, "Kak, tolong ya jangan semena mena sama yang nggak tau apa apa."

Entah kalimat apa berikutnya, saya lupa. Yang pasti saya dipukuli mereka sampai babak belur. Bapak di panggil ke sekolah, saya mendekam di rumah dengan teh hangat di meja. Lalu semuanya terbang begitu saja saat kedua kenari saya menangkap Anggit membawa plastik hitam ke rumah yang ternyata berisi bubur ayam. Hilang sudah semua nyeri dan kebas yang saya rasa.

Itulah kenapa saya cuma mau menjaga Anggit dari riuh redamnya semesta. Tidak membiarkan bengisnya dunia menyentuh Anggit barang secuil saja.

"Chandra, ayo berangkat."

Kemudin hal selanjutnya yang saya sadari adalah : Anggit sudah berdiri di depan saya dengan cardi rajut cokelat favoritnya.


.........

Lee Haechan sebagai
Halil Eka Chandra

Tu Ton Tawan sebagai :Anggit Athanasia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tu Ton Tawan sebagai :
Anggit Athanasia

Tu Ton Tawan sebagai :Anggit Athanasia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

gajelasss *nangisss*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Segara Milik ChandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang