Pagi itu langit sangat cerah, sinar matahari bagaikan tersenyum cerah kala menyinarkan sinarnya di dunia. Udara hangat khas musim semi, juga menjadi alasan orang-orang bahagia dan tersenyum sangat cerah hari ini. Semua orang kecuali Jongin.
Hanya dirinya yang tidak merasakan hangatnya sinar matahari hari ini. Hanya dia yang tidak tersenyum cerah dengan hati yang bahagia. Hanya dia.
Kalut. Itu yang ia rasakan hari ini. Oh, tidak hanya hari ini. Setiap hari dia akan merasa sangat kacau, resah, takut, bingung, semua hingga rasanya ia ingin menghantam dirinya dengan truck di jalan besar kemudian mati dan tara, dia tidak perlu merasakan hal yang memuakan seperti ini.
Sepanjang jalanan Seoul, yang bisa ia lakukan hanyalah terduduk diam sembari melihat orang berlalu lalang dengan segala bentuk ekspresi wajah yang berbeda. Ahhh dirinya melamun. Kini terbayang dengan sebuah kehidupan yang diam-diam ia impikan. Sebuah keluarga normal dengan ekonomi yang berada. Ia kemudian tertawa kecil, memarahi alam bawah sadarnya yang takala sangat kurang ajar membayangkan hal seperti itu.
Keluarga normal? Jangan bercanda. Normal yang keluarganya tahu hanyalah saling berteriak tentang biaya hidup, dan juga suara gedoran pintu, atau sebuah pukulan disana-sini karna tak mampu membayar hutang. Lagi dan lagi ia hanya bisa tertawa membayangkan betapa kacaunya hidup ini.
"Pembunuh!"
Satu teriakan kini mengambil fokus dirinya. Jauh dari tempat ia singgah, terlihat segerombol anak-anak SMA yang kini tengah melempari seseorang dengan sebuah remahan roti yang ia pikir cukup mahal, dan sayang jika hanya dibuat untuk melempari anak itu.
Tapi Jongin tetaplah Jongin. Ia bahkan tak mah ikut campur dengan segala urusan orang-orang. Hidupnya sudah terlalu sulit, mencampuri urusan orang lain bukan termasuk list dalam hidupnya.
Waktu berjalan sangat lama, setidaknya itu untuk dirinya. Matahari hampir terbenam, kini ia harus berdiri dan membulatkan tekatnya sekali lagi. Jalanan seoul makin malam makin ramai. Ini gila. Dimana dia bisa menemukan tempat yang cocok.
Langkah kakinya kini terus berjalan menyusuri jalanan yang entahlah, bahkan dia sendiripun tidak tahu keberadaannya. Matanya mengerjap sesaat dia tersadar bahwa dirinya berada disebuah jembatan besar dengan, air sungai yang sekarang arusnya sedang kencang. Jongin terdiam sebentar, ahhh ini tempatnya.
Untuk yang kesekian kalinya, ia memantapkan hatinya. Kali ini dia berharap bahwa dikehidupan selanjutnya, ia takan pernah mau menjadi seorang Kim Jongin. Takan pernah. Kaki-kakinya mulai memanjat naik ke pagar pembatas, tangannya ia rentangkan selebar mungkin untuk merasakan hembusan angin untuk yang terakhir kalinya. Sudah waktunya, ia harus mengakhiri ini semua.
"Loncat dari atas sini, gabakal bisa bikin kamu mati."
Jongin terdiam, kemudian menatap kesal seorang pria kecil yang kini sedang mengejeknya. "Kalau kamu masih mau loncat, silahkan."
"Jangan ganggu saya." Tegas Jongin.
Pria kecil itu tertawa kemudian ikut memanjat jembatan ini. Berdiri bersampingan dengan Jongin kemudian merentangkan tangannya lebar-lebar.
Ia berteriak, membuat Jongin bingung dibuatnya. "Kamu ngapain?!"
"Saya pernah loncat dari sini, kamu tau ga? ternyata air sungai ini cetek," ujarnya dengan sedikit senyum. "Kamu pasti cuma bakal geger otak kecil aja,"
"Kenapa loncat?"
"Kamu nanya saya, atau nanya diri kamu sendiri?" Lagi, pria itu tertawa kecil kemudian mulai turun dari atas pembatas jembatan ini. "Ngapain masih di atas? Ayo turun!" Pintanya.
Jongin yang mulai tersadar kemudian melihat kearah bawah jembatan. Ia menelan salivanya takut dan mulai turun menyusul pria kecil tersebut.
Entah bagaimana ia malah jadi mengikuti pria kecil itu.
Tas punggung yang sudah hampir putus, kaos kaki yang sudah melar, dan juga....
"Kenapa lama sih?"
Ahhh, itu dia.
Sebuah luka berwarna ungu di sudut bibirnya.
"Kenapa lama?" Lagi, pria kecil itu bertanya.
Jongin menggeleng, kemudian mulai mempercepat langkah kakinya agar menyamai si pria kecil itu. "Aku tahu tempat yang bagus untuk menghilang darisini,"
Pria kecil itu meracau, memberitahu Jongin semua informasi tentang tempat untuk menghilang dari dunia. Alih-alih pergi meninggalkan, Jongin kini malah menemani dirinya bercerita tentang ini itu.
Hembusan angin malam itu terasa sejuk untuknya, entah sejak kapan, tapi ocehan si pria kecil ini mampu membuat dirinya sedikit tertawa.
"Namamu?"
"Eh?"
Pria kecil itu kini berhenti tepat dihadapan Jongin yang kini terasa canggung. "Tidak punya nama?"
"Jongin," ucap Jongin cepat. Si pria kecil ini mengangguk-ngangguk mengerti, kemudian ia melanjutkan langkah kaki kecilnya.
Jongin yang merasa dicurangi kini berteriak kecil, memanggil si pria kecil ini untuk menyebutkan namanya.
"Kyungsoo. Namaku Kyungsoo."
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Dream - Kaisoo
FanfictionHubungan keduanya hanya berlandas saling kasihan antara satu sama lain. Jongin si anak jalanan yang hidup dengan banyak hutang, bertemu dengan Kyungsoo si anak pembunuh yang kini dibenci oleh semua orang. Saat keduanya berpikir untuk mengakhiri hid...