Three

56 5 0
                                    

Aku tahu bahwa semua ini akan baik-baik saja. 

Semua tentang urusan sekolah, rumah dan teman-temanku semua akan baik-baik saja, tadinya aku pikir begitu. Tetapi semua itu hilang. Semua menjadi sama saja, dan lebih parah dari yang bisa aku bayangkan. Aku hanya anak biasa yang memang biasa-biasa saja, tidak pintar tetapi juga tidak terlalu bodoh, aku tidak tampan tapi juga tidak terlalu jelek, aku bahkan tidak tinggi dan tidak terlalu pendek, segala tentangku benar-benar biasa saja.

Tidak ada yang istimewa dari itu.

Aku mencoba untuk berbaur dengan teman sebayaku, aku punya teman walau tidak banyak, setidaknya aku tahu akan kemana untuk meluapkan segala kekesalanku tentang rumah. Mereka baik, sebelum akhirnya mereka semua menjauh karna takut aku bunuh. Sialan, kenapa juga aku harus lahir dalam keluarga ini? hidupku sudah cukup hancur untuk mereka hancurkan.

Berita tentang bagaimana ayah, (oh haruskah aku menyebutnya ayah?) membunuh tetanggaku yang notabenya adalah ayah dari teman baikku. Telah membuat segalanya pergi.

Hahh benar-benar sialan! 

Aku benci dengan kehidupanku.

Merasa semua akan baik-baik saja sama rasanya dengan menelan pedang panas. Panggil aku hiperbola atau apalah aku tak peduli, yang pasti sudah aku ingatkan bahwa hidup ini benar-benar gila. Aku bahkan tak tahu harus apa sekarang. Terkadang menertawakan diri sendiri benar-benar dapat membuat perasaanku jauh lebih baik. 

Keluarga sempurna, ayah dipenjara dan ibu yang sudah menikah lagi, meninggalkan anak semata wayangnya ini seorang diri dengan berbagai cacian serta makian dari orang-orang yang tak terima dengan perilaku meraka.

Jika kalian berpikir, kenapa aku tidak bunuh diri saja? jangan ragu untuk bertanya. Aku pastikan akan menjawabnya dengan lantang. Aku telah melakukannya hampir 10 kali dan selalu gagal. Sialan sialan sialan!

"Pembunuh!"

Hahhh mereka lagi, aku yang mendengar suara teriakan dari mereka kini hanya bisa diam saja. Entah harus bagaimana menanggapi mereka yang begitu padaku, toh nyatanya aku memang anak dari pembunuh. Remahan roti-roti yang mereka lempar kini terjatuh dari atas rambutku, sesekali aku masukan remahan itu kedalam mulutku, sayang sekali roti mahal ini harus mereka lemparkan kedapaku.

Orang kaya sialan.

Sudah cukup lama aku berjalan dan suara-suara teriakan itu berangsur-angsur menghilang, aku menoleh kebelakang dan tak mendapati siapapun di belakang sana. Baguslah, anak-anak itu telah pergi. Aku kembali berjalan sembari sibuk memikirkan tentang perkejaan part time  yang baru aku terima seminggu lalu. Menjadi penjaga minimarket kecil sudah cukup lumayan untuk memenuhi kebutuhanku. 

Aku dengan cepat mulai melangkahkan kakiku menuju minimarket tempatku bekerja. Aku mulai pekerjaan ini dengan baik, setidaknya di wilayah ini tidak ada siapapun yang mengenaliku. Aku sangat berharap bahwa semua orang akan lupa tentang siapa aku. Perkerjaanku di minimarket selesai pukul 8 malam, setelah jam tersebut akan langsung digantikan oleh Jongdae, sang mahasiswa semester akhir. Ia selalu meminta untuk bekerja pada shift malam, entah kenapa aku tidak begitu peduli tentang hal itu.

Seperti biasa, aku akan selalu berjalan pulang dengan jalan kaki. Aku hanya tak ingin membuang uang yang telah susah payah aku kumpulkan hanya karna aku terlalu malas pulang menaiki kedua kakiku sendiri. Pelit? yaa panggil aku sesuka kalian. Aku benar-benar sudah tidak perduli pada semua panggilan itu.

Malam ini terang. Aku mendongak berjalan sambil menatap langit, tidak ada bintang satupun diatas sana, kemana semua bintang malam ini? Aku mengerucut sebal karna tak punya teman untuk aku ajak bicara. Aku menghela napas kasar lalu kembali menyusuri jalan yang sudah sangat sepi ini. 

Aku ingin cepat sampai di rumah. 

Buru-buru aku melangkahkan kaki agar sampai kerumah, tetapi saat melewati sebuah jembatan aku menemukan seseorang yang sepertinya ingin meloncat? bisa aku lihat dari cara ia merentangkan kedua tangannya sambil menutup mata. Aku bahkan hampir tertawa melihatnya.

"Loncat dari atas sini, gabakal bisa bikin kamu mati." ucapku akhirnya. 

Laki-laki itu menoleh padaku dengan raut muka yang sangat menyeramkan. Aku menelan sedikit salivaku gugup, orang ini benar-benar ingin bunuh diri? "Kalau kamu masih mau loncat, silahkan." lanjutku.

"Jangan ganggu saya." Tegasnya kemudian. Aku menaikan alisku kesal, yang benar saja! loncat darisini benar-benar akan membuang waktu saja. Karna merasa kesal, akupun mulai ikut memanjat jembatan ini. Berdiri bersampingan dengan lelaki ini kemudian merentangkan kedua tanganku lebar-lebar.

Pun aku langsung berteriak kencang yang malah mendapat tatapan bingung dari lelaki ini. "Kamu ngapain?!"

"Saya pernah loncat dari sini, kamu tau ga? ternyata air sungai ini cetek, kamu pasti cuma bakal geger otak kecil aja,"

Lelaki ini terdiam, "Kenapa loncat?" 

"Kamu nanya saya, atau nanya diri kamu sendiri?"

Aku yang telah selesai buru-buru turun dari atas jembatan ini. Sialan, jembatan ini benar-benar sangat tinggi. "Ngapain masih di atas? Ayo turun!" teriakku.

lelaki tadi mulai turun, dan aku melanjutkan perjalanan pulangku. Aku dapat merasakan bahwa laki-laki ini mulai mengikutiku. Aku menoleh kebelakang dan mendapati ia yang kini berjalan dengan sangat lambat.

"Kenapa lama sih?" teriakku padanya. Tak ada jawaban apapun darinya.

"Kenapa lama?" Lagi, aku kini bertanya padanya.

Ahhh, apa mungkin ia sedang memikirkan bagaimana caranya bunuh diri yang benar? apa dia benar-benar sama seperti diriku? Entah ide gila apa yang aku dapatkan saat bertemu dengannya. Apa ini adalah hadiah dari Tuhan untukku dapat mempunyai teman untuk mati bersama?

Haruskah aku mengajakanya?

"Aku tahu tempat yang bagus untuk menghilang darisini," ucapku akhirnya.

Lelaki tadi hanya terdiam, menatapku dengan tatapan biasa dan masih terus mengikutiku. Pun akhirnya aku banyak menceritakan berbagai tempat untuk dapat menghilang dari dunia ini. Entah ada apa denganku, aku bahkan menceritakan semua tempat percobaan bunuh diriku padanya. 

Sesekali aku menatap kearahnya, ada sedikit senyuman yang ia buat saat aku mencoba bercerita padanya, ahh sejak kapan aku menjadi pandai bicara seperti ini? apa mungkin karna aku dan dia sama-sama mempunyai tujuan yang sama? Aku pikir kami bisa saja menjadi teman, maksudku, kami mempunyai tujuan yang sama, bukankah itu sesuatu yang bagus dalam sebuah pertemanan?

 Aku kini berhenti, kemudian berbalik dan berdiri tepat dihadapannya. "Namamu?"

"Eh?"

"Tidak punya nama?"

"Jongin," ucapnya cepat.

Baik, aku telah mengetahui nama lelaki itu. Aku kini mulai berjalan kembali, meninggalkan Jongin yang hanya diam mematung ditempatnya. Dari arah belakang, aku dapat mendengarnya berteriak memanggilku, ia menanyakan tentang namaku.

"Kyungsoo. Namaku Kyungsoo."


---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sweet Dream - KaisooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang