"Ya, ibu. Nanti akan kuusahakan mengirimkan uang. Jangan khawatir, minggu depan aku sudah gajian." tutur pria manis yang sedang memasang senyumnya.
Pria manis itu—Park Jimin, tengah mengobrol lewat video call dengan keluarganya yang berada di Busan. Ia tersenyum manis, berusaha menenangkan keluarganya yang selalu khawatir akan keadaannya yang merantau ke kota demi menafkahi mereka.
Telepon itu ditutup. Bersamaan dengan itu, senyum manis itu berubah menjadi sendu. Jimin mendudukkan dirinya sembari menghembuskan napas kasar. Tangannya bergerak mengacak rambut sembari sesekali memukul pelan kepalanya.
"Ayo berpikir, Jimin. Cari kerjaan baru. Kau pasti bisa." Ia berujar frustasi.
Pintu flat Jimin diketuk. Membuat Jimin yang mulanya terduduk kini bangkit dan mengusap kasar wajahnya.
Pasti tagihan flat ini lagi. Batinnya frustasi. Ia kembali mengacak rambutnya lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan mungilnya.
Ingin rasanya ia menangis. Barangkali bisa mengumpamakan, hidupnya bak lampu kekurangan minyak. Ia benar-benar definisi orang yang sangat menderita. Untuk makan saja dia tidak cukup, apalagi harus mengirimkan uang kepada keluarganya di kampung.
Jimin menghembuskan napas sebelum memberanikan diri membuka pintu flatnya. Benar saja, seorang wanita paruh baya sedang berdiri tegap dengan pandangan sinis padanya.
"MANA HUTANG KAMU?!" Wanita itu menyenggak.
Jimin tak tahu balas apa. Ia hanya tertunduk dan diam. "Maaf, bu. Saya belum ada uangnya. Saya baru dipecat karena perusahaan tempat saya bekerja sedang ada masalah."
Bukannya kasihan, wanita di hadapannya ini malah terkekeh. "Emangnya itu urusan saya? Pokoknya saya mau kamu bayar tagihan flat kamu hari ini. Harus cash dan lunas. Mau kamu jual diri kek atau apa kek, saya gak perduli. Yang penting bayar. Kamu udah nunggak 4 bulan. Kamu pikir flat ini gratis apa gimana?!"
Sungguh, Jimin ingin menangis. Wanita di hadapannya ini sungguh seperti tak punya hati. Tapi apa daya? Ia sadar, ia juga salah karena menunggak tagihan.
"Saya minta waktunya, bu. Saya janji, bulan depan saya bayar, bu." Ia mencoba negosiasi.
"Bulan depan?! Kamu juga bilang itu sejak 4 bulan lalu! Mau sampai kapan bulan depan terus? Sampai tahun baru? Gak, gak. Pokoknya saya nggak mau tahu. Kalau sampai besok kamu belum bayar, kamu keluar dan tetap harus cicil pembayaran flat kamu!"
Jimin mendengus.
Setelah kepergian si pemilik flat, Jung Hoseok—teman dekat Jimin muncul dengan plastik di tangannya.
"Ditagihin lagi, ya?" Tanyanya yang hanya dijawab anggukan oleh Jimin.
Keduanya lalu masuk dan duduk. Jimin langsung mengambil isi dari plastik itu yang merupakan beberapa botol beer. Ia meneguk satu botol habis hanya dalam waktu kurang dari satu menit.
"Anjing! Jim, jangan gila! Woi!" Hoseok menarik paksa kaleng beer itu dan menjauhkannya dari Jimin.
"Gue tau lo stres, tapi jangan gila! Lo mau mati apa gimana?!" Omelnya sembari mengeluarkan selebaran.
"Gue harus gimana, Seok? Besok. Gue hanya dikasih waktu besok buat lunasin semua tunggakan flat gue. Makan sehari-hari aja susah, gimana mau bayar flat yang nunggak 4 bulan sekaligus?! Adek gue—Jihyun juga butuh duit, Seok. Dia udah kelas 12, dia butuh duit buat praktikum, biaya study tour, buku, dan lainnya. Gue harus gimana?" Jimin mulai menangis.
Hoseok sungguh ingin menangis juga. Jimin yang merupakan sahabatnya benar-benar orang yang kuat. Begitu banyak cobaan yang datang menerpanya, namun tak satupun yang dapat menumbangkannya.
"Gue nggak bisa bantu banyak, Ji. Tapi gue baru dikabarin sama Kak Seokjin. Lo masih ingat, kan? Senior kita yang jurusan teater dulu? Katanya temennya cari pengasuh anak. Gajinya lumayan. Tapi anak-anaknya sedikit nakal. Lo mau?" ujar Hoseok.
Jimin yang berada di situasi terdesak, tak memiliki opsi selain mengiyakan.
OoO
Seorang pria terlihat kelimpungan mengurusi kerjaan dan anak kembarnya yang sibuk berlarian.
"Min Aera, Min Aega, jangan nakal! Ayo duduk sebentar. Nanti papa janji akan belikan kalian mainan apapun kalau kalian tidak nakal." pria yang merupakan CEO terkenal itu mencoba membujuk anaknya.
Seperti berbicara dengan angin, anaknya tak mendengarkan. Mereka malah semakin asyik tertawa sembari berlarian. Bahkan sesekali mencampakkan beberapa barang kecil yang ada di ruang kerja ayahnya.
"Aduh, kepalaku sakit." Sang ayah—Min Yoongi, memijit pangkal hidungnya.
Menjadi ayah tunggal sungguh tak mudah. Yoongi sudah menjalaninya selama 2 tahun terakhir sejak ia memutuskan berpisah dengan istrinya yang merupakan seorang keturunan Finlandia dengan alasan tidak cocok.
Ponsel Yoongi berbunyi. Menampilkan nama Kim Seokjin di ponselnya.
"Gi, akhirnya ada yang mau lamar jadi baby sitter si kembar. Masih nyari, kan?" kata Seokjin di seberang.
Mata Yoongi berbinar. "Iya! Masih, Jin! Tolong kasih alamat gue, ya! Besok udah bisa langsung kerja!" katanya semangat.
"Eh tapi, apa boleh gue liat CV atau semacamnya dulu?" sambungnya.
"Sabar dong, pak tua. Ini gue lagi sambilan kirim ke e-mail lo. Nah, udah Gi! Lo cek dulu deh."
Tanpa memutus panggilan, Yoongi segera membuka aplikasi e-mail pada komputernya. Benar saja, ada pesan masuk baru dari Seokjin disana.
Jarinya bergerak lincah di atas kursor dan langsung membuka file itu. Baru sedetik ia melihat foto si pelamar, nafasnya terasa tercekat. Ia mematung hebat.
—Mujigae?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [YoonMin]
Fanfiction[ Top! Yoon | Bott! Ji ] Park Jimin hampir menyerah kala cobaan datang bertubi-tubi padanya. Jika saja kala itu Hoseok tak datang dan menawarkan bantuan, mungkin Jimin sudah hilang arah. Tapi siapa sangka, bantuan yang ditawarkan Hoseok malah membaw...