02

108 17 3
                                    

"Jim! Jimin! Woi!" Hoseok berusaha sekuat tenaga menyamakan langkahnya dengan Jimin. Sesekali ia berlari kecil dan berusaha meraih tangan sahabatnya yang masih berjalan cepat tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

"Lo kenapa sih?!" Hoseok menahan tangan Jimin dan membalikkan paksa badannya ketika ia berhasil menyamakan langkahnya.

Jimin menatap kosong Hoseok dengan netra yang sudah penuh dengan air mata. Hoseok sontak membelalak. Kaget bukan main.

"E-eh? Gue nariknya kekencangan, ya? Maaf, Ji. Gue bingung. Maafin gue, ya?" Hoseok berusaha menenangkan Jimin yang kini mulai tersedu-sedu.

Jimin menjatuhkan tubuhnya. Ia menempelkan kepalanya pada lututnya. Ia memeluk dirinya sendiri sembari menangis kencang. Mengabaikan pandangan orang yang menatapnya aneh dan bertanya-tanya.

Hoseok menunduk meminta maaf beberapa kali. Ia lalu ikut menyamakan posisi—berjongkok, sembari menepuk-nepuk punggung Jimin yang masih naik-turun dengan tempo tak beraturan. Jimin masih terisak.

"Maafin gue, ya? Gue nggak tahu Ji kalo cengkraman gue barusan sakit." Hoseok berujar sembari menatap Jimin dalam.

Jimin menggeleng. "Pulang, Seok. Gue mau pulang. Tolong antar gue sekarang."

Hoseok tak punya pilihan selain mengangguk. Diraihnya tubuh kecil sahabatnya yang tampak negitu rapuh lalu membantunya berdiri sambil memapahnya menuju mobil yang ia parkir di seberang jalan raya.

Sesampainya di mobil, Jimin menutup matanya. Sebagai antisipasi terhadap Hoseok, takut-takut pria itu akan bertanya padanya.

Ia belum siap. Ia belum siap menceritakan apapun tentangnya. Ia belum siap menceritakan bagaimana kekecewaan hatinya. Ia belum siap dan rasanya tidak akan pernah siap.

OoO

Yoongi menyesap kopinya. Pandangannya tertuju pada berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Namun, daripada berkas-berkas itu, sebenarnya ada yang lebih menghantui dan sangat mengganggu pikiran Yoongi sekarang.

Jimin. Apa yang terjadi padanya hingga ia menjadi seperti itu?

Yoongi memijat pangkal hidungnya pelan. Sudah berjam-jam berlalu sejak pertemuannya dengan Jimin di cafe depan kantornya, namun pria itu tak pernah selesai menghantui pikiran Yoongi.

Yoongi tersenyum kecil. Ia masih mengingat rupa Jimin. Wajahnya merupakan definisi cantik dan manis secara bersamaan. Pipinya sedikit menirus dari terakhir kali ia melihatnya. Bibir pria itu tetap sama. Tebal dan mengkilap.

Apa yang terjadi 3 tahun terakhir, Jimin? Apa yang terjadi padamu sejak bajingan ini meninggalkanmu?

Yoongi rasanya bernostalgia. Ia lalu membuka laci mejanya dan meraih sebuah ponsel disana. Ponsel yang tak pernah ia sentuh sejak ia meninggalkan Jimin begitu saja.

Dinyalakannya ponsel yang sudah mati selama 3 tahun itu dengan bantuan charge yang sudah menghubungkan daya.

Hanya melihat layarnya saja, sudah terpampang senyuman manis Jimin disana. Ia mengusap foto di benda pipih itu. Tanpa sadar, air matanya menetes.

Jika saja aku tak membuat kesalahan 3 tahun lalu.

Jika saja aku tak menyakitinya.

Jika saja aku tak menghancurkan kepercayaannya.

Jika saja aku tak mengecewakannya.

Begitu banyak jika yang mengintari kepalanya sekarang.

"Papa! Jangan nakal! Sudah jam cepuluh! Tidak boleh bekelja! No no, Papa! Ayo bobo cama aku dan kakak!" seorang pria kecil masuk ke ruangan kerja Yoongi dan menarik-narik lengan Yoongi.

Membuat Yoongi kelabakan dan asal meletakkan ponselnya. Ia hanya bisa pasrah membiarkan tubuhnya bergerak mengikuti anaknya yang masih menggenggam tangannya dan menuntunnya hingga ke kamar.

Benar. Ayo melangkah, Yoongi. Kau dan Jimin sudah berbeda. Kau sudah menikah walaupun bercerai dan sudah memiliki 2 anak.

Sementara Jimin? Terlepas dari apakah ia sendiri atau tidak, Jimin berhak bahagia. Seharusnya kau sadar, tatapan yang Jimin berikan masih sama. Justru lebih menyakitkan. Kau yang membuatnya hancur sedemikian rupa.

Ayo melangkah, Yoongi. Lepaskan Jimin. Biarkan ia bahagia.

TBC.

Hiraeth [YoonMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang